Kamis, 04 Juni 2009

Teori Klasik Tentang Budaya

TEORI KLASIK BUDAYA
Karya Suwardi endraswara- UGM Press
A. TEORI-TEORI KLASIK PENELITIAN KEBUDAYAANA.
EVOLUSIOIVISME
1.Dasar Pemikiran
Pemikiran dasar evolusionisme adalah bahwa ada suatu kepastian dalam tata tertib perkembangan, yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang agak kecil atau agak besar (Baal, 1988:114). Misalkan saja dalam bidang perkawinan, Edward Watermarck menyebutkan bahwa ada hubungan analogis antara hewan dan manusia. ‘ Khususnya pada jenis burung, telah ada pemeliharaan keturunan, bahkan burung jantan juga ikut memelihara anak-anaknya.
Hal ini mengindikasikan bahwa masa silam perkawinan manusia pun tidak campur aduk, melainkan telah ada proses yang beradab. Perkawinan masa lalu telah berlangsung lama, telah memikirkan hubungan seksual, dan karenanya memerlukan perawatan. Perkawinan besar kemungkinnya merupakan warisan. Homo sapiens, aslinya juga pemakan buah, seperti juga manusia kera tadinya hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Jika mereka berpencar lalu terjadi perkawinan campur aduk, sebenarnya merupakan mitos manusia purba saja. Seperti halnya penemuan masyarakat Andaman, bahwa suatu pasangan bercerai untuk mencari partner baru, setelah anak mereka disapih. Ternyata penelitian kemudian menunjukkan, orang Andaman suami-isteri yang sangat setia. Tentu saja proses semacam ini bergerak sedikit dengan sedikit seiiring dengan perkembangan budaya mereka.
Adanya anggapan masa purba telah terjadi promiskuitas (campur aduk) tidak selamanya benar. Meskipun ada tanda-tanda yang tampak ke arah itu, seperti pria lebih banyak cemburu dan terjadi poliandri, hal ini mungkin hanya terjadi beberapa kali saja. Begitu pula tentang hubungan kelamin sebelum perkawinan dan konsep jus primae noctis (hak malam pertama), yang telah dipratekkan pada masa feodal melalui kekuasaan dan perkosaan, masih perlu dikaji lebih lanjut. Karena, dengan adanya etika perkawinan yang mengikat mereka tentu lambat laun proses kultural semacam itu telah berubah. Pandangan tentang ketakutan hubungan seks dalam keluarga antara ayah dan anak gadisnya dan larangan perkawinan sesama saudara pria dan wanita (incest), juga penting dalam teori evolusionisme. Masalah ini, jika dilakukan jelas akan melanggar hukum alam dan kodrat manusia. Budaya semacam ini jelas tidak dibenarkan karena akan ada akibat-akibat tertentu yang kurang menyenangkan.
Penelitian evolusi di Indonesia, dapat mengambil obyek tentang perkawinan pada salah satu marga, hubungan kekerabatan, religi, dan sebagainya. Misalkan saja, peneliti dapat menitikberatkan peranan mas kawin yang awalnya berfungsi sebagai alat untuk perdamain setelah ada kawin lari. Peneliti juga dapat mengkaji masalah religiusitas sejak ada pengaruh Hindu Jawa, ada abangan, santri, priyayi, aliran kepercayaan, dan sebagainya. Penelitian terakhir ini dapat memanfaatkan teori evolusi E. B. Taylor tentang religi. Menurutnya, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia telah mati, terputuslah hubungan jiwa dan jasmani. Jiwa yang terlepas dari’ jasmani itu dapat berbuat sekehandaknya. Alam semesta akan penuh dengan jiwa bebas tersebut, yang tidak lagi disebut soul (jiwa) melainkan spirit (roh halus). Jika manusia menghormati roh tersebut dengan jalan persembahan disebut paham animisme. Terjadinya kepercayaan semacam itu karena adanya konsep survivals. Artinya, sisa-sisa kebudayaan sebelumnya yang masih dilestarikan pada kebudayaan baru. Survivals ini mungkin sekali hanya berupa motif-motif spiritual, dongeng, permainan, benda keramat dan sebagainya.
Tentu saja, studi evolusi budaya manusia tidak terbatas pada masa lalu saja, melainkan dapat diterapkan pada masa kini. Narnun, studi evolusi budaya masa kini mustinya telah berubah menjadi penelitian perubahan budaya yang cabangnya telah amat beragam. Oleh karena, perubahan budaya dapat melalui berbagai segi dan cara yang unik. Maka dari itu, evolusi semakin kurang diminati oleh pengkaji budaya masa kini. Selanjutnya, ketika evolusi mengalami kemunduran, muncul difusi budaya. Yakni, sebuah kajian tentang proses pengadopsian atau peminjaman budaya dari satu wilayah ke wilayah lain. Perkembangan selanjutnya, evolusionisme telah bergeser, terutama dengan kehadiran V. Gordon Childe. Dalam bukunya Man Makes Himself (1957) ia berpendapat bahwa rekaman arkeologis telah menunjukkan pola perubahan evolutif dan progresif. Konsep progresif dalam evolusi ini juga didukung oleh Simpson (1959:107-108) bahwa kehidupan budaya akan ditentukan oleh perkembangan waktu. Perkembangan waktu akan memungkinkan tumbuhnya gagasan baru yang marnpu mengubah kebudayaan ke depan. Sifat progresif juga akan dipengaruhi bagaimana budaya tertentu mampu beradaptasi dengan lingkungan. Sejalan dengan ini pula, White berpendapat bahwa budaya perlu dipahami dari aspek tertentu. Tanda-tanda adalah hal atau kejadian yang memiliki malrna inheren dengan bentuk fisik tanda itu. Di pihak lain, simbol adalah benda atau kejadian yang artinya dilekatkan secara arbriter oleh orang yang menggunakan secara kolektif. Pandangan ini, kemungkinan besar yang menjadi embrio terhadap simbol-simbol budaya.
Penelitian evolusi budaya, memang tidak bisa mengabaikan teori Charles Darwin. Menurutnya, tindak budaya manusia bukanlah berjalan secara acak, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia memiliki bahasa dan pikiran yang mampu mengubah budayanya dari waktu ke waktu. Karena itu, penelitian di arahkan pada perkembangan pola pikir, simbol ayng digunakan, aturan yang dipakai dari waktu ke waktu. Evolusi sekurang-kurangnya akan terkait dengan proses biologis, sosial, dan budaya manusia. Ketiganya saling terkait dan sulit dipisah-pisahkan. Evolusi biologis yang dipelopori Darwin, telahmenarik perhatian peneliti kebudayaan berkisar pada studi tentang asal-usul (tahapan) hidup manusia. Studi ini akan menyangkut berbagai hal seperti institusi keluarga, perkawinan, bangsa, dan negara. Kecenderungan awal penelitian semacam ini menitikberatkan pada studi evolusioner hidup manusia. Penelitian semacam ini awalnya menjadi wilayah garap studi paleantropologi atau antropologi ragawi.
KerjasamA yang manis studi budaya semacam. bisa dengan bidang arkeologi. Dalam pandangan Montago (1960:17) penelitian kebudayaan secara evolusionisme tetap tidak hisa lepas dari manusia. Manusia adalah pencipta budaya. Budaya sebagai milik individu maupun kelompok akan bermakna seiring dengan kebutuhan manusia. Sejak budaya manusia purba sampai sekarang, kebudayaan akan muncul dan bermakna apabila digunakan oleh pemiliknya. Dalam penggunaan budaya itu selanjutnya terjadi perubahan budaya secara pelan-pelan.

2. Titik Berat Analisis
Realitanya, kritik tajam kehadiran evolusionisme memang sulit terelakkan. Evolusionisme, sering diperlakukan kurang patut oIeh peneliti budaya berikutnya. Padahal, tidak sedikit pula sumbangan evolusionisme terhadap penelitian budaya di era mana pun. Penelitian budaya dengan model evolusionis tetap memiliki nilai dan kekuatan tertentu. Nilai dan kekuatan tersebut tergantung tujuan apa peneliti budaya mengangkat sebuah fenomena. Jika peneliti memang ingin melihat sebuah perkembangan dan perubahan dari titik waktu, evolusionisme tetap memiliki peranan terhormat. Hal tersebut, didasarkan pada tiga asumsi dasar evolusionisme yang telah menjadi acuan penting bagi penelitian budaya adalah:
(1) fenomena budaya harus dikaji secara natural,
(2) premis tentang “kesatuan psikis umat manusia”, yakni bahwa perbedaan kultural antara dua kelompok tidak disebabkan oieh perbedaan psikobiologis melainkan perbedaan pengalaman sosial budaya,
(3) penggunaan metode komparatif sebagai ganti eksperimen dan laboratoris dalam ilmu ragawi (Kaplan dan Manners, 1999:58-58).
Penelitian budaya dengan kacamata evolusionisme akan menitikberatkan pada proses budaya itu sendiri. Dalam proses tersebut, sering terjadi pengulangan dan tranformasi budaya dari masa lalu ke masa sekarang. Dalam proses budaya semacam ini akan terjadi peniruan beberapa aspek budaya. Tentu saja, lalu timbul ada budaya asli dan budaya tiruan atau turunan. Misalkan saja tentang adat istiadat bercocok tanam yang menggunakan perhitungan berupa pranata mangsa. Selanjutnya, penelitian evolusi telah berkembang pada masalah sosial budaya manusia. Termasuk di dalamnya, terjadi penyelidikan evolusi religi, keluarga, negara, dan ’sebagainya.
Pangkal tolak penelitian kebudayaan secara evolutif, adalah teori Spencer tentang evolusi universal. Maksudnya, makhluk di dunia mengalami perubahan yang kurang lebih sama, meskipun sering ada evolusi yang unik pada budaya tertentu. Misalkan saja, masalah religi diasumsikan muncul karena ada rasa sadar dan takut akan maut. Bentuk religi tertua adalah menyembah roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa jiwa orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Bentuk religi tertua ini, menurut Spencer akan berevolusi ke arah penyembahan dewa-dewa. Dewa yang menjadi pusat penyembahan manusia dalam tingkat evolusi semacam ini mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya. Namun, evulosi universal itu juga tidak selalu benar karena setiap bangsa memiliki variasinya. Misalkan, ada yang memiliki keyakinan adanya kelahiran kembali lewat binatang. Begitu juga masalah hukum, yang awalnya dinamakan hukum keramat (gugon tuhon), kemudian ada yang melanggarnya. Pelanggaran disesuaikan dengan pemikiran zamannya, karena menurut Spencer ada konsep survival of the fittest, artinya aturan akan bertahan jika cocok dengan lingkungannya. Kebudayaan akan berjalan terns apabila mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian kajian evolusionisme budaya masih relevan untuk mengungkap berbagai aspek fenomena budaya. Fenomena budaya akan berhubungan dengan lingkungan yang membentuk simbol atau tanda-tanda kausal. Tanda dan simbol yang melukiskan kehidupan individu maupun kolektif akan menjadi perhatian para peneliti budaya. Aspek perkembangan dan perubahan fenomena budaya pun dari waktu ke waktu, akan diperhatikan sungguh-sungguh untuk memperoleh kejelasan. Lebih rinci lagi, .ada dua teori evolusi kebudayaan yang patut dipertimbangkan, yaitu:
(1) teori monogenesis. Teori ini dipelopori oleh Wilhelm Grimm. Teori ini mengasumsikan bahwa kebudayaan berasal dari satu induk. Semua mitos tentang matahari misalnya, dianggap berasal dari India;
(2) teori poligenesis, yang dipelopori Andre Lang. Teori ini berpandangan bahwa setiap kebudayaan di dunia mempunyai kemampuan berevolusi. Oleh sebab itu setiap folk memiliki kemmapuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama.
Jika pada beberapa negara ada motif mitos yang sama karena masing-masing negara memiliki kemampuan untuk menciptakan secara berdiri sendiri maupun sejajar. Termasuk paham ini adalah kajian budaya Freud, yang menganggap bahwa terjadi mitos yang sama pada beberapa negara, bukan karena difusi melainkan adanya kesadaran bersama yang terpendam. Kesadaran tersebut berupa, keinginan bersetubuh, keinginan kembali ke rahim, dan keinginan untuk dilahirkan kembali (Sudikan, 2001:18).
Dari dua teori evolusi budaya di atas, tampak bahwa peneliti budaya perlu memperhatikan proses pertumbuhan budaya itu sendiri. Pertumbuhan budaya yang berasal dari satu induk dan atau dari dasar keinginan bersama, sama-sama penting dikaji. Keduanya akan membentuk produk budaya baru. Froduk budaya tersebut menurut pandangan Rappaport (Keesing, 1999:150) akan terpengaruh lingkungan.
Ekologi budaya merupakan jaringan yang sangat kompleks yang meliputi kepercayaan budaya dan berbagai dampak peristiwa ekologis. Dalam kaitan ini, ritus merupakan suatu “termos panas” yang mengubah informasi kompleks. Kesucian, kebenaran, keyakinan, dan agama adalah suatu hal yang tak perlu dipertanyakan, jelas memiliki pengaruh dalam adaptasi.
B. DIFUSI KEBUDAYAAN
Difusi adalah persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan _ menularkan budaya tertentu. Apalagi kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, jelas akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, disitulah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi dan komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan culture contact, berupa asimilasi budaya juga akan semakin memperluas jaringan budaya. Kontak budaya asing (luar) yang masuk akan bertarung dengan budaya asli, sehingga pada perkembangan selanjutnya sulit dikenali jati diri keaslianttya.
Karena itu, penelitian difusi akan berusaha mengungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Maka, kontribusi telaah difusi, bukan pada aspek historis budaya melainkan pada geografi budaya. Paham fundamental ahli telaah. difusi tak jauh berbeda dengan studi komparatif kebudayaan. Dalam hal ini, difusionis Graebner (Malinowski, 1944:35) menyatakan bahwa semua regularitas proses budaya merupakan hukum dari kehidupan mental dan studi tentang ini dapat dilakukan melalui studi psikologi budaya. Studi difusi budaya lebih ke arah survival (kelestarian) kebudayaan dari teinpat satu ke tempat lain. Survival budaya berarti ketahanan, bukan persoalan fungsi semata. Survival adalah daya eksis budaya. Survival tidak lain merupakan daya tahan budaya tersebut setelah mendapatkan pengaruh budaya lain sehingga menimbulkan makna baru. Makna baru tersebut, tak lain merupakan fungsi baru budaya tersebut.
Menurut paham analitik difusi, kebudayaan pada hakikatnya dapat menyebar, meluas, baik secara kelompok maupun satu per satu. Kebudayaan dapat melebar lebih jauh dan dekat. Prinsip utama difusi adalah kebudayaan masa lalu dapat direkonstruksi ulang pada budaya sekarang dan mendatang. Jika kebudayaan tersebut terjadi proses dan perubahan, sebenarnya esensinya tetap ada pengaruh historis. Mulamula kebudayaan yang berkembang pada sebuah wilayah, sebenarnya berasal dari “pusat kebudayaan”. Hal ini dapat dipastikan bahwa unsur yang menyebar tersebut pastilah unsur yang paling tua. Maka, peneliti difusi akan mampu menemukan mana budaya tua dan muda. Kedua budaya tersebut saling pengaruh-mempengaruhi sehingga ada makna dan fungsi baru. Analisis difusi kebudayaan memang memerlukan ketekunan tersendiri. Oleh karena, paham ini memandang bahwa kebudayaan mula-mula satu induk, lalu ada penyebaran. Difusi mungkin lebih relevan untuk melihat kebudayaan sebagai seni dan folklor. Dengan cara ini, difusi merupakan metode analisis yang mampu merunut aspek historis sehingga membentuk mata rantai panjang fenomena budaya. Paham difusi selalu berasumsi bahwa budaya satu dengan yang lain saling terkait dan ada pengaruh genetika budaya. Tugas peneliti budaya dengan metode ini adalah mencari kembali sejarah gerak perpindahan, proses budaya yang saling mempengaruhi, sejak awal sampai masa kini. Tentu, saja hal ini diperlukan pembatasan sampai, tingkat tertentu, jika tidak jelas akan memakan waktu yang cukup panjang.
Tugas utama peneliti difusi budaya adalah menemukan kulturkreis, yaitu sekumpulan budaya yang memiliki ciri sama. Ciri ini menjadi bekal untuk mengklasifikasikan sebuah fenomena budaya: Misalkan saja, kita bisa merunut perkembangan kepercayaan monotheisme di Jawa sampai berkembang menjadi pantheisme. Kita juga dapat melihat perkembangan berbagai aliran kepercayaan dan aneka ajarannya. Aliran kepercayaan tersebut dikaitkan pula dengan pelaku budaya spiritual dan sejumlah aktivitas budaya kaum abangan. Jika hal ini dilakukan, maka akan diperoleh bagaimana proses “menjadi”, dari budaya tertentu sampai budaya tertentu pula. Mungkin sekali, dari aktivitas aliran kepercayaan dan sejumlali kaum abangan akan ditemukan pengaruh Hindu Jawa dan Islam yang telah melebur.
Pengaruh tersebut akan menarik disimak ketika muncui berbagai aliran kepercayaan yang memiliki “kitab” yang berbeda:,padahal hakikatnya sama yaitu pembinaan budi pekerti luhur ke arah sangkan paraning dumadi, memayu hayuning bawana, dan manunggaling kawula-Gusti. Jika data budaya berupa sistem kekerabatan seorang individu, peneliti dapat mengumpulkan bahan dengan wawancara kepada informan. Data tersebut bisa berupa daftar asal-usul (genealogi).
Dari data ini, peneliti dapat mengungkap terjadinya persebaran kekerabatan di satu tempat ke tempat lain. Kemaan dan perbedaan aspek-asgek tertentu akan menjadi titik poin yang harus diperhatikan oleh para difusionis. Proses terjadinya difusi kebudayaan memang membutuhkan waktu panjang. Dengan adanya imigrasi bangsa akan terjadi proses difusi budaya. Terjadinya penjajahan bangsa pada masa kolonial, juga mempengaruhi terjadinya difusi budaya yang besar-besaran. Hal ini dapat dipahami, sehingga banyak rakyat Suriname yang fasih berbahasa Jawa Ngoko, dimungkinkan awalnya juga berasal dari nenek moyang Jawa. Karena itu bukan mustahil kalau di Suriname pun banyak penganut kejawen. Begitu pula dengan adanya program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi - juga telah menumbuhkan difusi budaya Jawa di daerah tujuan. Adanya perkawinan antar suku dan antar bangsa, telah menyebabkan difusi kebudayaan sedikit demi sedikit. Apalagi, terjadinya kawin campur antara Jawa-Cina, Jawa-Amerika, Jawa-Australia dan sebagainya cepat atau lambat akan menciptakan budaya baru yang bersumber dari “pusat budaya” sebelumnya.
Pembauran budaya semacam ini, tentu menjajdi menarik dikaji, sehingga akan terlihat seberapa pengaruh budaya ash dan seberapa pula adanya perubahan. Termasuk di dalamnya, ketika bangsa ini telah sekat-sekat budayanya sehingga muncul konsep multikulturalisme, tentu difusi budaya menjadi sangat penting. Yang penting dalam difusi budaya perlu diperhatikan aneka perubahan sebagai akibat terjadinya kontak dan belajar budaya. Mungkin sekali setelah ada penyebaran budaya, akan terjadi internalisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, invensi, dan inovasi budaya. Istilah-istilah ini malrnanya sebagai berikut:
(1) internalisasi adalah proses penanaman budaya yang menyangkut kepribadian, seperti perasaan, hasrat, nafsu, dan sebagainya.
(2) enkulturasi, berarti pembudayaan atau lebih tepatnya pemberdayaan yang ‘ke arah positif, misalkan membudayakan tradisi sela matan, gotong royong, sumbangan, dan sebagainya.
(3) akultu-rasi, adalah kontak budaya satu dengan yang lain sehingga terjadi penyatuan budaya.
(4) asimilasi, adalah campuran kental dari dua budaya atau lebih, misalkan saja terjadinya sinkretisme antara Hindu-Jawa menjadi kautn~abangan.
(5) iravensi adalah temuan-temuan baru budaya, sehingga menghasilkan inovasi (pembaharuan) yang meyakinkan.
(6) inovasi adalah langkah strategis untuk memperbaharui budaya tertentu agar lebih fungsional bagi pendukungnya. Inovasi juga sering disebut invention of tradition.
Persoalan penting yang perlu mendapat perhatian bagi peneliti difusi budaya antara lain menyangkut masalah:
(a) budaya mana yang mudah dan sukar diterima,
(b) budaya mana yang telah diganti, asli, dan campuran,
(c) keadaan komunitas budaya penerima dan pemberi,
(d) proses terjadinya difusi bagaimana, dan
(e) sarana pendukung serta penghambat terjadinya difusi.
Dari perpsoalan-persoalan tersebut, peneliti difusi mencoba mengklasifikasikan dan mencari sebab-sebab terjadinya persebaran. Percampuran budaya asli dan pendatang akan menumbuhkan perhatian para difusionis ke arah sinkretis. Pada saat ini peneliti akan mencurahkan perhatiannya pada sejauh mana fenomena budaya telah berkembang menjadi kebudayaan lain.
C. FUNGSIONALISME KEBUDAYAAN
1. Aksioma dan Model
Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu. Antara lain, seperti fungsi religi dapat mempersatukan masyarakat. Fungsionalisme akan terkait dengan sifat dasar budaya manusia. Sifatsifat tersebut merupakan realitas budaya yang sulit diabaikan. Kehidupan budaya tidak jauh berbeda dengan organisme hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia membutuhkan organisasi yang akan menciptakan budaya tertentu. Organisasi budaya tersebut sering dinamakan institusi.
Konsep ini mengimplikasikan serangkaian nilai tradisional sehingga umat manusia menjadi bersatu dalam komunitas budaya. Karena itu, penelitian kebudayaan hendaknya dapat menunjuk kepada realitas lain yang sejalan dengan hukum secara umum. Kebudayaan tak lain merupakan bagian integral yang terdiri atas institusi yang terkoordinir rapi. Kebudayaan terorganisir ke arah serangkaian prinsip komunitas, di dalamnya ada kerjasama, ada spesialisasi aktivitas, dan aspek-aspek tersebut tetap sama pentingnya.
Budaya sebagai subyek penelitian akan terkait dengan manusia. Berarti, studi budaya akan mengangkat permasalahan sifat dasar manusia, sikap, dan perilaku mereka dalam kehidupan. Penelitian kebudayaan yang paling esensial akan menerapkan metode observasi di lapangnan sehingga diperoleh makna budaya sebagai proses dan produk manusia secara komprehensif. Aksioma dasar fungionalisme budaya adalah:
(a) budaya merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan lingkungannya,
(b) budaya merupakan sebuah sistem dari obyek, aktivitas, dan sikap yang bertujuan untuk mencapai sasaran tertentu,
(c) budaya memrupakan bagian integral yang setiap unsur saling tergantung,
(d) aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke dalam institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan, dan sebagainya,
(e) dari sudut pandang dinamika budaya, dapat dilihat pada masing-masing institusi.
Model analisis fungsiorialisme yang dipelopori oleh Malinowski, telah menawarkan pilar analisis tersendiri. Fungsionalisme budaya menghendaki agar peneliti mampu mengeksplorasi ciri sistemik budaya tertentu. Artinya, peneliti harus mengetahui kaitan antara institusi dengan struktur masyarakat sehingga membentuk sebuah kesatuan yang bulat. Klaim yang menarik kaum fungsionalis adalah sebuah metode yang mengeksplorasi saling ketergantungan di antara institusi satu dengan yang lain. Fungsionalisme juga merupakan salah satu metode analisis yang menitikberatkan proses budaya. Budaya adalah proses yang berjalan, bertahap, dan mengikuti irama.
Model analisis fungsional memungkinkan secara pragmatik tentang suatu simbol dan untuk membuktikan bahwa dalam realitas budaya tindakan verbal maupun tindakan yang lain baru menjadi jelas setelah melalui efek yang dihasilkannya. Titik terpenting dari fungsionalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tak jauh berbeda dengan organisme yang bagian-bagiannya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme tersebut. Asumsi fungsionalisme adalah semua sistem budaya memiliki syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya.Robert Merton (Kaplan dan Manners, 1999:79) mengetengahkan postulat tentang fungsionalis bahwa:
(1) postulat keutuhan fungionalis masyarakat, yaitu segala sesuatu berhubungan secara fungsional segala sesuatu yang lain,
(2) postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan suatu fungsi, dan tidak ada satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang sama itu.
Dalam kaitan ini, Merton memberikan rumusan tentang perbedaan fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak unsur budaya. Fungsi manifes ialah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut.” Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh warga masyarakat.
Baik fungsi manifes maupun fungsi laten fenomena budaya memiliki nilai-nilai positif. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa mengenal selamatan kenduri tentang bersih dusun. Selamatan tersebut, sering kurang disadari memiliki fungsi sosial dan gotong royong yang tampak di antara pendukungnya.
Dari sini akan tumbuh kesadaran kelompok. Namun, sebenarnya kenduri juga memiliki fungsi manifes sebagai laku spiritual yang amat dalam. Kenduri sebagai langkah negosiasi dengan kekuatan super inderawi agar mau membantu hidup manusia. 2. Aspek KajianYang menarik lagi dari analisis fungsional Malinowski adalah kemampuan melukiskan masyarakat tertentu sampai ke hal-hal kecil. Aspek-aspek kehidupan masyarakat dapat terungkap sehingga fungsi dan maknanya semakin jelas. Hal ini dapat dilihat ketika dia menampilkan kajian fungsional masyarakat Trobriand antara lain tentang:
(1) sistem kula (barter) dengan lingkungan sekitar, ciri fisik kepulauan, pola pemukiman komunitas, barang yang diperdagangkan,
(2) sistem kekerabatan kaitannya dengan kula,
(3) sistem pimpinan desa,
(4) teknik pembuatan perahu bercadik,
(5) upacara keagamaan sebelum dan sesudah kula,
(6) cara memperebutkan gengsi dan kedudukan, dan sebagainya.
Menurut Malinowski, ada beberapa syarat seorang peneliti yang ingin melukiskan etnografi budaya tertentu secara fungsional. Syarat tersebut, antara lain:
(1) harus menguasai bahasa lokal setempat, agar diperoleh pengertian tajam dan mendalam tentang budaya unik di wilayah tersebut,
(2) mengumpulkan dan mencatat unsur-unsur budaya yang terkait, seperti keagamaan, kesenian, sosial, ekonomi, dan sebagainya,
(3) melakukan observasi mendalam secara real tentang fenomena budaya.
Ada tiga abstraksi fungsi sosial adat tatacara dan pranata sosial, yaitu:
(1) abstraksi pertama berkaitan dengan adat, tingkah laku, dan pranata sosial yang lain,
(2) abstraksi kedua, terkait dengan yang dikonsepsikan masyarakat yang bersangkutan,
(3) abstraksi ketiga, terkait dengan kebutuhan mutlak berlangsungnya hidup secara terintegrasi.
Ketiga abstraksi ini perlu dilukiskan secara detail dalam laporan penelitian, sehingga jelas makna dan fungsi fenomena tersebut. Abstraksi tersebut juga didasarkan pada pendapat bahwa fenomena budaya sekecil apa pun pasti ada makna dan fungsinya bagi pendu-kung budaya tersebut.
Dalam kaitannya dengan analisis fungsional tentang budaya Malinowski juga cukup tajam memberikan rambu-rambu sebagai berikut:
Pertama, di Trobriand ada dongeng suci yang disebut liliu. Dongeng ini bukan dongeng biasa, melainkan tergolong kategori khusus, bahkan dianggap sebagai pedoman upacara suci. Ini berarti bahwa dongeng memiliki fungsi spiritual yang tinggi. Fungsi dongeng suci menjadi wahana religius pemilik dengan Sang Khalik.
Kedua, masalah tentang magic juga menarik perhatian dia. Menurutnya, magis memiliki fungsi mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tidak dipahami, dia seolah-olah mampu menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magis dalam budaya Trobriand. Hal ini disetujui pula oleh Radcliffe-Brown yang telah meneliti fungsi keagamaan bagi kerekatan sosial.
Ketiga, aktivitas budaya sebenarnya dimaksudkan untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Misalkan, kita belajar seni tembang (macapat), gending, ketoprak dan sebagainya sebagai upaya memenuhi naluri keindahan. Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa berbagai aktivitas budaya muncul sebagai pemenuhan kombinasi human needs.
Dari rambu-rambu tersebut, kajian fungsional dapat diarahkan ke situ. Urutan kajian tidak harus seperti itu, tergantung unsur mana yang akan diketengahkan terlebih dahulu. Prioritas peneliti kiranya sangat menentukan wujud laporan hasil penelitian. Untuk itu, peneliti fungsionalisme, menurut Malinowski (Kuper, 1996:15-16) perlu memperhatikan tiga kelompok besar data yang perlu kecermatan. Tiga kelompok tersebut sebagai berikut:
Pertama, data kerangka institusi, adat, yang dipelajari dengan nienggunakan metode dokumentasi statistik dengan bukti konkret. Tujuannya adalah membangun seperangkat kerangka sinopsis yang menjadi sarana bagi seseorang yang untuk memasuki wawasan adat yang diasosiasikan dengan kegiatan tertentu. Data tersebut muncul dari pendapat-pendapat dan deskripsi yang disarikan dari warga masyarakat budaya yang diteliti, dan dari pengamatan kasus-kasus yang real. Konsep ini mengarah pada data empiris.
Kedua, data harus mengambil data yang berupa aktualitas tindak budaya, dengan cara mencatat cermat dalam buku etnografi khusus. Informasi data dari penduduk (secara langsung) juga sangat penting.
Ketiga, koleksi pernyataan etnografis, narasi karakteristik, berbagai kejadian khas, unsur-unsur folklor dan formula magik harus dimasukkan sebagai korpus inscriptionum, sebagai dokumen mengenai mentalitas budaya setempat.
Catatan penting pengambilan data fungsionalisme ada tigal hal juga, yaitu:
(1) aspek-aspek kebudayaan tidak dapat dipelajari dalam keadaan terisolasi, aspek itu harus dipahami dalam konteks penggunaannya,
(2) seseorang tidak boleh menyandarkan kepercayaan pada aturan-aturan, atau deskripsi informan untuk melihat realitas sosial; manusia tidak selalu berbuat sesuai dengan perkataannya;
(3) jika seseorang memahami apa yang sesungguhnya dilakukannya, dan menempatkan pada konteks yang sesungguhnya dilakukan, dan menempatkan pada konteks yang seharusnya, mau tak mau ia mengakui bahwa “apabila masyarakat yang tidak beradab” tidak kurang rasional dari kita sendiri, maka paling tidak ia berpikiran sehat.
Singkat kata, orang yang berpikiran sehat cenderung memanipulasi setiap kemungkinan demi keuntungan. Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa pandangan fungsionalisme lebih cenderung melihat “dunia” dari wawasan pemilik budaya. Karena itu, participant observer sangat diperlukan. Kebudayaan akan terintegrasi secara keseluruhan dalam konteks budaya pendukungnya. Berarti budaya memiliki malrna utilitarian. Budaya merupakan kesatuan mutualistik. Kebudayaan akan memenuhi kebutuhan seperti biologis, psikologis, sekunder dan lain-lain. Budaya akan membentuk totalitas karena kebudayaan merupakan satuan yang berproses atau bekerja.
Esksistensi budaya akan memenuhi tujuan tertentu, dan tentu saja akan bermakna tertentu pula bagi pendukungnya. Dengan kata lain, budaya akan memiliki tujuan dan karenanya harus berfungsi bersama-sama. Setiap pola kelakuan yang sudah menfadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar (sekunder) dari pemilik’budaya. Kebutuhan pokok meliputi, reproduksi, merasa enak badan, keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Sedangkan kebutuhan sekunder, misalkan organisasi politik, organisasi makanan, dan sejumlah kepentingan lain sebagai pengaruh kebutuhan dasar. (Ember dan Ember, 1996:59-60).
Kepentingan praktis dari fungsionalisme adalah untuk memahami bahwa institusi budaya dapat berkembang sangat tergantung pada institusi lain. Adapun keberatan fungsionalisme antara lain, kurang memberi penjelasan mengenai aneka ragam kebudayaan. Fungsionalisme lebih berpikir universalitas budaya, seperti semua orang butuh makan jika ingin bertahan hidup.- Jadi, fungsionalisme kurang mampu memenuhi pola-pola budaya lain yang sebenarnya dapat bertahan tanpa pertolongan yang lain.
Analisis budaya secara fungsional, juga tetap bersentralkan pada manusia. Oleh karena, proses kultural, jika dilihat dari aspek konkretnya akan melibatkan umat manusia. Manusia pada dasarnya akan mengubah lingkungan sosial budaya di mana mereka hidup. Manusia juga sering mengubah lingkungan fisiknya. Akibatnya, segala perilaku manusia hampir seluruhnya diwarnai oleh tindak budaya. Proses pernafasan, pencernaan, dan sejenisnya terjadi proses kultural yang luar biasa pula. Proses semacam ini, seringkali juga diwujudkan melalui sistem budaya kebatinan, klenik, dukun, dan meXafisik yang lain. Dengan demikian, akan terjadi interaksi konstan di antara anggota organisme budaya. Dari sini pula muncul kebiasaan, kepercayaan, adat, dan sejumlah tradisi lain. Karena kompleksitas budaya semacam ini, akan menimbulkan ragam budaya yang sulit diobservasi langsung, dihitung (intangible), dan diakses melalui satu aspek saja. Bayangkan, kalau kita dapat menggali gagasan, nilai, motif cerita, konsep dogmatis, dan sebagainya apakah hal ini telah mencerminkan obyektivitas budaya? Dengan kata lain, melalui observasi belum tentu semua akses budaya menjadi objektif dan jelas. Kita memerlukan perangkat penelitian lain yang lebih jitu.
Penelitian budaya secara fungsional menurut Malinowski (1944:87) hendaknya mampu analisis kebutuhan dasar dan kebutuhan sekunder manusia. Kedua kebutuhan tersebut berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dari kemusnahan. Di bawah ini merupakan tabel urutan kebutuhan manusia yang patut dipertimbangkan, yaitu:
Dari tabel tentang kebutuhan atau sifat dasar manusia tersebut, kajian berarti bahwa fungsionalisme budaya harus mampu menyentuh di antara aspek tersebut. Jika penelitian fungsionalisme budaya mampu mengungkap impulse, tindakan, dan kepuasan hidup manusia maka akan berhasil mengkaji budaya sebuah komunitas. Di samping itu, analisis fungsional budaya juga perlu memperhatikan kebutuhan derivasi (sekunder), yang antara lain meliputi keyakinan, religiusitas, etika, dan sebagainya.Kebutuhan dasar manusia, cepat atau pun lambat akan mempengaruhi respon budaya komunitasnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Dari tabel tersebut tampak bahwa kebutuhan penting manusia sering akan mempengaruhi aspek-aspek hidup yang lain. Pengaruh tersebut yang membuat budaya semakin berkembang. Pengaruh tersebut akan menyesuaikan dengan fungsi masing-masing bagi keberlangsungan komunitas. Jika pengaruh pada salah satu aspek tersebut semakin kuat, akan menimbulkan pula aspek-aspek hidup lain yang lebih kompelks. Maka, tugas fungsionalisme adalah melihat aspekaspek tersebut dan pengaruhnya pada fenomena budaya. Jika hal-hal tersebut dapat terungkap, maka penelitian budaya akan membantu juga pengembangan ilmu-ilmu humanis yang lain, seperti politik, psikologi, hukum, bahasa, dan sebagainya. Karenanya, bidang-bidang tersebut juga akan menjadi ladang strategis penelitian budaya. Misalkan saja, ketika E. B. Taylor mengkaji budaya primitif, E. Durkheim tentang pembagian kerja sosial dan analisis agama serta magis adalah contoh pembahasan fungsionai yang dapat membantu bidang-bidang lain.
Dari kajian demikian akan tampak adanya interdepensi unsurunsur budaya dalam pemenuhan fungsi bagi komunitas budaya. Hal ini berarti analisis fungsional akan berusaha melihat seberapa jauh fungsi masing-masing unsur budaya dalam menunjang keberlangsungan hidup manusia. Fungsi tersebut harus dikaitkan dengan konteks kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan yang lain.
D. FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Fungsionalisme struktural yang dipelopori Radcliffe-Brown, menolak adanya istilah fungsi yang tidak dikaitkan dengan struktur sosial. Dalam kaitan ini ada sumbangan institusi sebagai upaya pengekalan struktur sosial. Maka, kunci pokok analisis fungsionalisme struktural budaya adalah adanya asumsi dasar bahwa budaya bukan pemuas kebutuhan individu, melainkan kebutuhan sosial kelompok.
Tokoh utama paham ini adalah Radcliffe-Brown. la berpendapat bahwa analisis budaya hendaknya sampai pada makna dan fungsi dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar semua masyarakat yang disebut “coaptation”. “Coaptation” adalah penyesuaian mutualistik kepentingan para anggota masyarakat. Dalam konteks ini, Radcliffe Brown (Kaplan, 1999:78) berpendapat bahwa sistem budaya dapat dipandang memiliki “kebutuhan sosial”. Kebudayaan itu muncul karena ada tuntutan tertentu baik oleh lingkungan maupun pendukungnya. Tuntutan itu yang menyebabkan budaya semakin tumbuh dan berfungsi menurut strukturalnya. Pendek kata Radcliffe-Brown (Turner, 1979:40) berpandangan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat hubungan sosial yang khusus dan membentuk suatu keseluruhan yang padu seperti halnya struktur organik. Karena itu dalam analisis fungsi, menurut RadcliffeBrown (1979:41) harus menghubungkan antara institusi sosial dan kebutuhan masyarakat.
Istilah fungsi dalam struktur sosial adalah fenomena sosial yang dilihat dalam masyarakat manusia bukanlah semata-mata keadaan individu, tetapi dilihat hasil struktur sosial yang menyatukan mereka. Metodologi deskripsi yang digunakan dapat meliputi lima hal yaitu:
(1) agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
(2) tiap unsur dalam sistem sosial dan setiap gejala atau benda mempunyai efek solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut,
(3) sentimen itu ditimbulkan dalam pikirian individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya,
(4) adat dan upacara adalah wahana ekspresi sentimen secara kolektif dan berulang-ulang saat tertentu,
(5) ekspresi kolektif sentimen tertentu memelihara intensitas sentimen itu dalam jiwa masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam generasi berikutnya.
Dari pandangan- demikian, jelas sekali bahwa fungsi sosial sebuah fenomena budaya sejalan pula dengan pemikiran Malinowski. Maksudnya, kedua ahli tersebut berpendapat bahwa ada efek dan pengaruh timbal balik sistem budaya dengan sistem sosial. Budaya ibarat sebuah sistem organisme yang hidup. Sistem ini membentuk sebuah jaringan yang saling ada ketergantungan. Namun demikian, hal ini tidak bisa dipahami secara harafiah. Budaya tetap hidup dan tak pernah mati semasa penggunanya ada. Misalkan, penelitian ritual “totemisme” secara fungsional struktural, Radcliffe-Brown yang menyatakan bahwa totemisme merupakan langkah solidaritas sosial sebagai bukti bahwa ada keterkaitan antar unsur budaya. Ritual ini juga akan membawa ke kesadaran moral dan sosial. Bahkan, ritual semacam ini mampu mengakrabkan manusia dengan alam. Karena itu, analisis harus mampu menggambarkan ke arah ini sehingga dapat ditemukan hubungan yang jelas antara ritual, manusia, dan alam.
Bertolak dari pendapat tersebut penelitian fungsionalisme struktural akan melihat lebih jauh kepaduan fungsi budaya bagi pendukungnya. Dalam kaitan ini analisis diarahkan melalui kebutuhan timbal balik pendukung dan institusi. Dalam institusi biasanya ada aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung keberlangsungan institusi yang lain. Misalnya saja, dalam kalangan hidup orang Jawa terdapat larangan perkawinan misan, tumbak-tinumbak, dan saudara sepupu, lalu muncul aneka petungan yang menarik. Petungan perkawinan seringkali menumbuhkan aturan dan larangan tertentu untuk mengatur hidup mereka. Petungan yang lazimnya terangkum dalam primbon perkawinan, adalah upaya pemenuhan kebutuhan institusi lain agar tercapai keselamatan hidup. Jika kesepakatan tadi telah mendarah daging, biasanya dianggap sebagai gugon tuhon perkawinan.
Namun demikian, gugon tuhon itu sendiri sering menjadi pengatur perkawinan yang ditakuti dan atau sebaliknya malah dilanggar. Oleh karena tidak sedikic yang mencoba menertawakan bahwa larangan perkawinan tertentu dianggap sebagai pembodohan. Tentu pro kontra tentang hal tersebut, akan menjadi hal menarik bagi peneliti fungsional struktural. Paling tidak, peneliti akan mampu menghubungan di antara unsur-unsur pendukung budaya tersebut dan sekaligus mencari sebab-sebab mereka mendukung atau sebaliknya.
Dengan demikian, fungsional struktural adalah model penelitian yang banyak memperhatikan keterkaitan antar unsur budaya dalam memenuhi fungsinya. Unsur budaya tersebut memiliki makna dan fungsi khas tergantung hubungan struktural di antara unsur tersebut. Untuk mencari hubungan ini, dapat dilakukan melalui wawancara secara mendalam dan juga pengamatan berperanserta. Melalui dua langkah ini, keterkaitan antar unsur budaya akan semakin tampak. Peneliti tidak bisa meniadakan unsur budaya lain ketika memaknai budaya dalam fungsional struktural.
Memang, ada sedikit kesulitan untuk menentukan apakah sebuah unsur berfungsi bagi masyarakat pendukung budaya atau tidak. Apakah kebiasaan tertentu memiliki fungsi yang relevan bagi unsur lain, inilah yang harus dicermati cukup hati-hati. Itulah sebabnya kajian fungsional struktural perlu mencermati unsur-unsur budaya, yang mungkin sering merugikan unsur lain, sehingga kategori fungsi tersebut semakin jelas. Apakah fungsi hanya berlaku bagi “fungsi pendukung”, ataukah juga fungsi sebagai “kontrol”. Keduanya, kiranya perlu mendapat tekanan yang berbeda demi kelengkapan hasil penelitian.
MASYARAKAT dan Teori SOSIOLOGI

Sosial dapat Berarti Kemasyarakatan.

• Struktur sosial - urutan derajat kelas sosial dalam masyarakat mulai dari terendah sampai tertinggi. Contoh: kasta.
• Diferensiasi sosial - suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Contoh: agama.
• Integrasi sosial - pembauran dalam masyarakat, bisa berbentuk asimilasi, akulturasi, kerjasama, maupun akomodasi.


MASYARAKAT

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Diferensiasi sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.
Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.

INTEGRASI SOSIAL

Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :

o Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
o Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu

Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut :
• Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar)
• Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.

Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.
Integrasi sosial akan terbendutk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial

Bentuk Integrasi Sosial
• Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli.
• Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.

Faktor-Faktor Pendorong

• Homogenitas kelompok
• Besar kecilnya kelompok, pada kelompok yang kecil biasanya tingkat kemajemukannya juga relatif kecil, sehingga akan mempercepat proses integrasi sosial.
• Mobilitas geografis
• Efektifitas dan efesiensi komunikasi, komunikasi yang berlangsung di dalam masyarakat akan mempercepat integrasi sosial.

ASIMILASI
Asimilasi dapat menunjuk pada:

o Asimilasi (linguistik), adalah sebuah fenomena di mana dua fonem yang berbeda dan letaknya berdekatan menjadi sama.
o Asimilasi (sosial), bercampurnya 2 kebudayaan dalam masyarakat setempat (contoh : dalam satu negara atau dalam satu keluarga), sehingga tercipta suatu budaya baru.


Asimilasi (sosial)
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
Hasil dari proses asimilasi adalah semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Syarat Asimilasi
o Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut.
o terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
o terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
o Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

Faktor pendorong

Faktor-faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
o Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
o Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
o Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.
o Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
o Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal
o Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
o Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut.

Faktor penghalang
o Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai berikut.
o Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
o Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi
o Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan
o Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya
o Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
o Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang bersangkutan
o Golongan minoritas mengalami gangguan dari kelompok penguasa

PERILAKU MENYIMPANG

Perilaku menyimpang secara sosiologis diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif.

Relavansi Teori Sosial

MASALAH SOSIAL RELEVABSI TEORU SOSIAL
Masalah sosial tentu ada kaitannya dengan teori sosial. Teori sosial lebih menekankan pada segi perspektif yang terkadang kurang mampu menjelaskan secara utuh tentang masyarakat..pun jua untuk membedah akar masalah sosial.Ya...karena 'ilmuwan sosial' melihat masyarakat dengan 'teropong' yang berbeda. Karenanya diperlukan suatu bentuk kompleksitas sehingga teori sosial dapat berlaku dan berperan menentukan tatanan masyarakat yang ideal.

Dalam sosiologi khususnya melihat masalah sosial dapat dilihat dari kacamata/perspektif dari 3 tokoh ternama 'founding father'nya sosiologi yang di istilahkan dengan Durkhemian,Weberian, dan Marxian yang memiliki ketidaksamaan cara pandang mengenai masyarakat.

a. Tinjauan singkat teori fungsional struktural
Teori ini dikemukakan oleh Durkheim yaitu melihat kenyataan persoalan dalam masyarakat tidak lepas dari fungsi sosial dalam masyarakat. Secara garis besar,fakta sosial yang menjadi pusat perhatian adalah 'struktur sosial' dan 'pranata sosial'. Kedua hal ini berada dalam satu sistem sosial yang terdiri atas bagian/elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan (Soetomo:15). Perkembangan masyarakat mengarah pada bentuk formal di mana terdapat perbedaan kelas dan struktur dalam masyarakat. Dasar pemikirannya,kedua bentuk perbedaan ini muncul secara alamiah dengan kata lain tidak ada 'rekayasa sosial' alias social engineering. Selanjutnya membahas mengenai 'fungsi sosial' mempunyai keterlibatan mutlak dalam fakta sosial. Fakta sosial ini terkait dengan masalah sosial dan akan selalu ada di mana masyarakat berada.

b.Tinjauan singkat teori konflik
Teori ini dibangun sama dengan dasar teori yang (a) di atasyaitu dalam 1 payung paradigma fakta sosial. Kajian tentang konflik lebih pada membedakan golongan yang terlibat yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan. Kelompok semu memiliki kepentingan yang sama,sementara pada kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang pada umumnya memiliki struktur,organisasi,program, tujuan dan keanggotaan yang jelas.
Beda dengan poin (a) yaitu pada : menurut teori fungsional-struktural masyarakat berada dalam kondisi statis/kondisi seimbang sementara teori konflik sebaliknya yaitu masyarakat berada dalam proses perubahan yang ditandai pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kemudian,teori (a) lebih melihat elemen melihat masyarakat terikat secara informal oleh norma,nilai dan moralitas umum, sedangkan teori konflik lebih menilai keteraturan karena adanya 'golongan yang berkuasa'.

c.Tinjauan singkat teori interaksionisme simbolik
secara singkat ide dasarnya meliputi :
1. masy terdiri dari manusia yg berinteraksi;
2. interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yg berhubungan dgn kegiatan manusia lain yg memunculkan interaksi simbolik mencakup penafsiran tindakan;
3. objek-objek mempunyai makna intrinsik
4. manusia dapat melihat dirinya sebagai bagian dari objek
5. tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yg dibuat manusia sendiri
6. tindakan manusia ini saling di kaitkan dan di sesuaikan oelh anggota2 kelompok.

Ya...setidaknya ini perlu dikombinasikan dengan masalah sosial yang tentu relevan dalam pembacaannya..yang akan mempengaruhi perkembangan dari masyarakat itu sendiri.
DIPOSKAN OLEH SANGGAR KEHIDUPAN DI 01:05
LABEL: SANGGAR-SOSIOLOGI

Sosilologi Nerparadigma Ganda

Sosiologi Berparadigma Ganda
Desember 12, 2007 oleh
Pendahuluan
Buku yang menjadi resensi saya dibawah ini dalam memnuhi tugas ujian tengah semester Paradigma Teori Sosial berjudul “ Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang ditulis oleh George Ritzer, seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini memiliki nilai bobot ilmiyah yang sangat baik untuk dijadikan sebagai buku pokok dan acuan mahasiswa yang mempelajari konsep sosiologi ataupun berupa pengantar. Dan seharusnya menjadi buku wajib bagi mata kuliah Sosiologi di berbagai perguruan tinggi. Buku asli yang berjudul “ Sosiology A Multiple Paradsigm Science “ ini diterjemahkan oleh Drs. Alimandan. Dikarenakan substansi buku ini yang sangat baik sekali, maka saya mencoba untuk mengambil buku ini sebagai resensi maupun resume bacaan dalam tugas mata kuliah Paradigma Teori Sosial ini.
Besar harapan saya agar buku ini dapat bermanfaat bagi saya maupun teman-teman saya yang lain yang membacanya. Dan diharapkan dengan di resumenya buku ini nilai ilmiyah dan sistematika penulisannya menjadi tak mengurangi isi pesan dan substansi dari buku tersebut.
Intisari dari setiap Bab
BAB I
Status Paradigma Sosiologi
Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris bahkan terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang cukup lama.
Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Lantas, istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
1. Paradigma Metafisik
2. Paradigma Sosiologi
3. Paradigma Konstrak
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu.
BAB II
Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
• Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
• Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.
• Teori Sistem, dan
• Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
BAB III
Paradigma Definisi Sosial
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).
BAB IV
Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
• Pandangannya tentang emergence
• Pandangannya tentang psikologi
• Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.
BAB V
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)
Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab ini adalah mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. Satu hal yang penting untuk diangkat adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah dengan membaginya menjadi beberapa pointer-pointer penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.
2. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
3. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.
4. Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka beroposisi sama sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik dan fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan penelitian mereka.
5. Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan pemikiran paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih menyatu.

BAB VI
Menuju Paradigma Sosiologi Yang Terpadu
Paradigma Sosiologi yang terpadu itu harus menjelaskan :
• kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi,
• struktur makro-subyektif seperti kultur,
• fenomena mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan
• fakta-fakta mikro-subyektif seperti proses pembentukan realitas.
Lalu hubungan antara keempat ini dapat diuraikan menjadi satu bentuk tabel seperti dibawah ini :
Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu.


Kesimpulan
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak, mengapa dikatakan demikian ? hal ini dikarenakan, antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan bahkan pertentangan pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan tentang batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-cabang paradigmanya dan spsesifikasi bidangnya masing-masing. Setidaknya terdapat 3 paradigma yang mendasari ilmu sosiologi ini diantaranya :
1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
a. struktur sosial, dan
b. pranata sosial
2. Paradigma Definisi Sosial, yang terbagi menjadi tiga teori diantaranya :
a. Teori Aksi (action theory),
b. Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
c. Fenomenologi (Phenomenology).
3. Paradigma Perilaku Sosial, terbagi menjadi dua teori diantaranya :
a. Behavioral Sociology Theory
b. Exchange Theory
Ketiga paradigma teori tersebut telah dipaparkan penjelasannya diatas beserta dengan cabang-cabang teori yang mendukung kostrruk paradigmanya. Selain itu juga banyak spesifikasi yang diberikan oleh para ahli dalam memberikaj suatu asumsi-asumsi terhadap paradigma tersebut dengan penjelasannya masing-masing.
Tanggapan
Substansi buku ini telah dapat dikatakan sempurna dikarenakan Ritzer mengangkat tema-per temanya sesuai dengan penjelasan yang tepat diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-masing. Dalam buku ini Ritzer pun tak jarang memberikan bantahan-bantahannya, atau bahkan terkadang memberikan komparatif terhadap satu paradigma dengan paradigma lainnya. Namun mungkin yang ada adalah kelemahan dari penyadurnya, dimana buku yang diterjemahkannya ini masih terdapat seringkali keruwetan dalam penggunaan tanda baca. Dan juga seperti apa yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu kelemahan dari buku yang disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan kemampuan dalam mencernakan ‘grand theories’ dari Ritzer ini.
Tapi secara totalitas di buku yang tipis ini penjelasan tentang mengapa sosiologi menjadi terdiri dari berbagai paradigma telah tercakup dengan lengkap dibuku ini dengan baik.
Sumber Resume :
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( penyadur : Drs. Alimandan ), CV. Rajawali, Jakarta: Januari 1985

Teori Fungsinalisme

Teori Fungsionalisme

Bayangkan tubuh manusia yang ginjalnya sakit, atau kakinya terkilir, giginya berlubang, atau bibirnya terkena sariawan. Tubuhnya menjadi lemas dan tak mampu lagi beraktivitas secara normal. Fungsionalisme melihat masyarakat dan sistem sosial yang ada di dalamnya ibarat tubuh, yang jika satu bagian sakit atau tidak berfungsi, maka anggota tubuh lain tak dapat menjalankan tugas dan perannya secara maksimal.

Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog Perancis yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh Auguste Comte, merupakan sosiolog yang sangat mendambakan pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena sosial. Teorinya berawal dari pemahaman bahwa kelompok manusia (masyarakat) memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut.

Bertolak pemahaman yang demikian ia menerangkan bahwa sistem sosial menjadi seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai tersebut mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya kesetimbangan sosial; melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Contohnya yang terkenal adalah kasus bunuh diri. Menurutnya, orang bunuh diri karena hilangnya rasa memiliki dan dimiliki orang tersebut dalam masyarakat.

Secara ekstrim, fungsionalis berfikir bahwa masyarakat pada awalnya disusun oleh individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya secara bersama, namun pada akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang.

Sosiolog Amerika Serikat, Talcott Parsons (1902-1979), adalah juga seorang seorang fungsionalis. Teorinya didasarkan pada mekanisme sosial dalam masyarakat dan prinsip-prinsip organisasi di dalamnya. Pengembangan ini disebut juga struktural-fungsionalisme. Dalam pandangan ini, masyarakat tersusun atas bagian-bagian seperti misalnya rumah sakit, sekolah, pertanian, dan seterusnya yang terbagi berdasarkan fungsinya.

Secara ringkas, fungsionalis melihat masyarakat ibarat sebuah organisme, makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Ia sehat jika bagian-bagian dari dirinya (kelompok fungsional, individu) memiliki kebersamaan satu sama lain. Jika ada bagiannya yang tidak lagi menyatu secara kolektif, maka kesehatan dari masyarakat tersebut terancam, atau sakit. Dalam hal ini hukuman/sanksi sosial terhadap penjahat dapat dipandang sebagai cara untuk mencegah sakitnya sistem sosial.

Salah seorang fungsionalis Amerika yang lain, Robert K. Merton (1911-2003) menggunakan terminologi fungsionalisme taraf menengah. Secara teoretis, Merton memiliki perspektif yang sama dengan sosiolog fungsionalisme pendahulunya, namun yang menjadi sorotan utamanya adalah pengembangan teori sosial taraf menengah. Dalam pengertian Merton, teori taraf menengah adalah teori yang terletak di antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya untuk mengembangkan suatu teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku sosial, organisasi sosial, dan perubahan sosial. Hal ini adalah responnya terhadap semangat Parsons yang hingga akhir hidupnya ingin menyelesaikan teori tunggal tentang sistem sosial (grand unified social theory).

Menurut Merton, teoretisi sosial dalam pengamatannya harus membedakan antara motif dan fungsi sosial. Motif sosial itu lebih bersifat pribadi daripada fungsi sosial itu sendiri. Misalnya, dalam sebuah masyarakat terdapat doktrin yang mengandung fungsi sosial untuk mempertahankan komunitas tersebut, yaitu mempunyai anak. Jika seseorang melahirkan anak, kebahagiaan orang tersebut dan keluarganya lebih kepada motif pribadi, cinta kasih, penyesuaian diri dengan kondisi sosial, dan sebagainya lebih daripada fungsi sosialnya yaitu untuk mempertahankan komunitas.

Dalam hal ini, perlu dibedakan dua fungsi sosial, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang diketahui dan dimafhumi oleh individu-individu dalam sistem sosial tersebut, sementara fungsi laten adalah fungsi yang tak diketahui. Hal ini menjelaskan tentang terjadinya pola-pola konsekuensi disfungsional dari tindakan individu dalam masyarakat.

Disfungsional maksudnya konsekuensi yang justru memperkecil kemampuan bertahannya masyarakat tersebut.

Contoh yang menarik untuk ini adalah berkembangnya sekte agama atau suku tertentu; jelas sekali fungsi manifes yang terkandung dari ajaran atau doktrin yang ada dalam agama atau suku tersebut adalah untuk membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok tersebut. Namun di sana terdapat fungsi laten, yaitu fanatisme kelompok yang besar, yang bisa memunculkan disfungsi konsekuensi, perang atau teror antar kelompok agama atau suku yang justru sangat berbeda maksudnya dengan fungsi manifesnya, yaitu membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok yang lebih besar.

Sumber: Meretas Jalan Sosiologi - Dept. Comp. Soc. Bandung Fe Institute

Teori Fngsionalisme Struktural

Teori Fungsional - Struktural
Nopember 8, 2007 oleh
Pendahuluan
Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.
Oleh karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 3 mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.
Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural
Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.
Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional - structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.
Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.
Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :
postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.
postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.
postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
1. pencarian pemuasan psikis
2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
4. usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.
Penutup
Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa secara singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit ataupun melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.
Sekiranya hanya ini yang dapat kami selesaikan dalam penyusunan makalah ini, terasa bagi kami kesulitan dalam mencari refrensi tentang pengertian yang mendalam dari teori ini. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan pembelajaran yang lebih mendalam bagi kawan-kawan yang haus akan suatu ilmu. Kami memohon maaf bila banyak kekurangan dan mungkin ada yang bingung terhadap bahsa yang dipergunakan dalam penulisan. Oleh karena itu input kalian sangat berarti bagi kami penyusun makalah.
Referensi
Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995

Fungsionalisme dan Konflik

teori sosial budaya
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tentu tidak lepas dari paradigma yang kemudian diturunkan menjadi teori-teori.Berikut untuk menambah wawasan seputar ilmu sosiologi yang nantinya akan penulis sampaikan bertahap..simak ya..

Sebelum membahas mengenai teori fungsionalisme struktural&teori konflik perlu di ketahui bahwa kedua teori ini termasuk dalam paradigma fakta sosial. Exemplar Paradigma fakta sosial di ambil dari karya Durkheim The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim membangun satu konsep yakni fakta sosial (social facts). Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam yaitu:
(1) dalam bentuk material yaitu barang sesuatu yang dapat di simak,ditangkap, dan diobservasi.Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata/external world.Contohnya arsitektur dan norma hukum
(2) dalam bentuk non material yaitu sesuatu yang dianggap nyata/external.Fakta sosial ini merupakan fenomena yang bersifat intersubjective yang hanya dapat muncul dari dalam 'kesadaran manusia'.contohnya adalah egoisme,altruisme,dan opini.
Selanjutnya,secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Secara keseluruhan dalam paradigma ini terdapat 4 teori yaitu teori fungsionalisme struktural, teori konflik,teori sistem,dan teori sosiologi makro. Untuk bahasan kali ini di bahas 2 hal dulu yang sering digunakan sebagai 'pisau analisa' dari fenomena sosial yang ada yaitu :

1.Teori Fungsionalisme Struktural
teori ini lebih menekankan pada keteraturan/order,mengabaikan konflik dan perubahan-peru bahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi,disfungsi,fungsi laten,fungsi manifest dan keseimbangan/equilibrium. Masyarakat menurut teori ini merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian/elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang laib.Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Salah satu tokohnya adalah Robert K.Merton berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti peranan sosial,pola-pola institusional,proses sosial,organisasi kelompok,pengendalian sosial,dll.
Penganut teori fungsional ini memang memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negatif. Satu hal yang dapat di simpulkan adalah bahwa masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan.Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada fungsional bagi sistem sosial itu. Masyarakat dilihat dalam kondisi:dinamika dalam keseimbangan.

2.Teori Konflik
Teori ini di bangun dalam rangka menentang langsung terhadap teori fungsionalisme struktural.Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Teori ini bertentangan dengan fungsionalisme struktural yaitu masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini menilai bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya pemaksaan /tekanan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten,kelompok kepentingan dan kelompok semu,posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik.
Sementara itu Berghe mengemukakan emapt fungsi dari konflik yaitu :
1.Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2.membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3.Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4.Fungsi komunikasi,sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya konflik,posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas.
kesimpulan dari teori konflik adalah terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri.

Sumber : Buku Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda karangan George Ritzer
DIPOSKAN OLEH SANGGAR KEHIDUPAN DI 22:32
LABEL: SANGGAR-SOSIOLOGI

Fungsionalism

Fungsionalisme

Sebelum muncul beberapa teori baru yang menantangnya, fungsionalisme adalah teori sosiologi yang pernah sangat dominan dalam tradisi ilmu sosial selama beberapa dekade. Dalam beberapa literatur, fungsionalisme juga dikenal dengan nama lain, fungsionalisme struktural. Tokoh terpenting fungsionalisme adalah Talcott Parsons, sosiolog Amerika yang, antara lain, memulai karir intelektualnya dengan menerjemahkan beberapa karya Max Weber. Ketika mengembangkan pendekatan fungsionalisme, Parsons lebih banyak berhutang budi kepada tradisi positivis yang dasar-dasarnya terutama telah diletakkan oleh August Comte dan Emile Durkheim. Gagasan-gagasan Parsons, banyak mendapat kritik dari penganut fungsionalisme yang lain, Rober K. Merton.

Secara sederhana, fungsionalisme atau fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang bisasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).

Salah satu ciri paling kuat dari perspektif fungsionalisme adalah penekanannya pada tatanan atau keteraturan sistem. Pada level paradigma ilmu sosial, ia biasa juga disebut sebagai paradigma keteraturan (the order paradigm). Obsesi pada keteraturan berimplikasi pada bagaimana cara para fungsionalis memandang konflik lebih sebagai sebuah gangguan pada keteraturan sistemik daripada sebagai sesuatu yang membuat masyarakat menjadi lebih dinamik. Implikasi politik paling ekstrem dari pesrpektif fungsionalisme adalah munculnya sebuah rezim kekuasaan yang otoriter, yang selalu melihat setiap disensus pada kebijakannya sebagai upaya untuk merusak keutuhan sistem.

Contoh yang cukup baik tentang bagaimana implikasi fungsionalisme pada level politik sebuah negara, antara lain, bisa dilihat dari kasus Indonesia. Hampir semua sarjana sosiologi atau ilmu sosial yang lain yang lulus sekolah di Amerika sampai sekitar awal dekade 1980an merupakan orang-orang yang dididik dalam tradisi fungsionalisme. Sebagian dari mereka kemudian dimanfaatkan oleh Jendral Soeharto untuk merancang trajektori pembangunan nasional selama kekuasaannya. Tidaklah mengherankan jika baik pendekatan pembangunan maupun faham politik Orde Baru sangat didominasi oleh perspektif fungsionalisme. Setiap sikap kritis atas pelbagai kebijakan politik akan serta merta dianggap gangguan bagi stabilitas nasional, dan menghambat jalannya pembangunan. Cara yang kemudian dipakai Orde Baru untuk menghadapi sikap kritis sebagian masyarakat adalah melalui upaya-upaya represi militer. Konflik, dengan demikian, tidak dikelola untuk mendinamiskan masyarakat melainkan lebih dilihat sebagai ancaman yang sangat berbahaya bukan terutama bagi kelangsungang hidup bangsa melainkan lebih bagi kelanggengan kuasa rezim yang sedang memerintah.

Obsesi pada keteraturan a la Orde Baru bukan hanya telah mengkebiri sikap kritis politik masyarakat, melainkan benar-benar telah memandulkan seluruh potensi kecerdasan seluruh bangsa. Hasilnya, di balik segala kisah sukses pertumbuhan ekonomi (yang kemudian terbukti semu belaka), rezim Orde Baru menyembunyikan benih-benih kehancuran kita sebagai bangsa. Hasilnya, ketika Indonesia dilanda krisis mata uang pada tahun 1997 dengan mudah krisis tersebut mengimbas pada sektor-sektor kehidupan yang lain dan mengakibatkan sebuah krisis multidimensi yang amat parah sampai sekarang. Sebuah masyarakat, sebuah bangsa, ternyata tidak cukup hanya dipahami seperti kita memahami sebuah organisme biologis.

http://hikmat.atspace.org/page2/mini_kata/tulisan/fungsionalisme.html

Fungsionalisme

Fungsionalisme
Sebelum muncul beberapa teori baru yang menantangnya, fungsionalisme adalah teori sosiologi yang pernah sangat dominan dalam tradisi ilmu sosial selama beberapa dekade. Dalam beberapa literatur, fungsionalisme juga dikenal dengan nama lain, fungsionalisme struktural. Tokoh terpenting fungsionalisme adalah Talcott Parsons, sosiolog Amerika yang, antara lain, memulai karir intelektualnya dengan menerjemahkan beberapa karya Max Weber. Ketika mengembangkan pendekatan fungsionalisme, Parsons lebih banyak berhutang budi kepada tradisi positivis yang dasar-dasarnya terutama telah diletakkan oleh August Comte dan Emile Durkheim. Gagasan-gagasan Parsons, banyak mendapat kritik dari penganut fungsionalisme yang lain, Rober K. Merton.
Secara sederhana, fungsionalisme atau fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang bisasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).
Salah satu ciri paling kuat dari perspektif fungsionalisme adalah penekanannya pada tatanan atau keteraturan sistem. Pada level paradigma ilmu sosial, ia biasa juga disebut sebagai paradigma keteraturan (the order paradigm). Obsesi pada keteraturan berimplikasi pada bagaimana cara para fungsionalis memandang konflik lebih sebagai sebuah gangguan pada keteraturan sistemik daripada sebagai sesuatu yang membuat masyarakat menjadi lebih dinamik. Implikasi politik paling ekstrem dari pesrpektif fungsionalisme adalah munculnya sebuah rezim kekuasaan yang otoriter, yang selalu melihat setiap disensus pada kebijakannya sebagai upaya untuk merusak keutuhan sistem.
Contoh yang cukup baik tentang bagaimana implikasi fungsionalisme pada level politik sebuah negara, antara lain, bisa dilihat dari kasus Indonesia. Hampir semua sarjana sosiologi atau ilmu sosial yang lain yang lulus sekolah di Amerika sampai sekitar awal dekade 1980an merupakan orang-orang yang dididik dalam tradisi fungsionalisme. Sebagian dari mereka kemudian dimanfaatkan oleh Jendral Soeharto untuk merancang trajektori pembangunan nasional selama kekuasaannya. Tidaklah mengherankan jika baik pendekatan pembangunan maupun faham politik Orde Baru sangat didominasi oleh perspektif fungsionalisme. Setiap sikap kritis atas pelbagai kebijakan politik akan serta merta dianggap gangguan bagi stabilitas nasional, dan menghambat jalannya pembangunan. Cara yang kemudian dipakai Orde Baru untuk menghadapi sikap kritis sebagian masyarakat adalah melalui upaya-upaya represi militer. Konflik, dengan demikian, tidak dikelola untuk mendinamiskan masyarakat melainkan lebih dilihat sebagai ancaman yang sangat berbahaya bukan terutama bagi kelangsungang hidup bangsa melainkan lebih bagi kelanggengan kuasa rezim yang sedang memerintah.
Obsesi pada keteraturan a la Orde Baru bukan hanya telah mengkebiri sikap kritis politik masyarakat, melainkan benar-benar telah memandulkan seluruh potensi kecerdasan seluruh bangsa. Hasilnya, di balik segala kisah sukses pertumbuhan ekonomi (yang kemudian terbukti semu belaka), rezim Orde Baru menyembunyikan benih-benih kehancuran kita sebagai bangsa. Hasilnya, ketika Indonesia dilanda krisis mata uang pada tahun 1997 dengan mudah krisis tersebut mengimbas pada sektor-sektor kehidupan yang lain dan mengakibatkan sebuah krisis multidimensi yang amat parah sampai sekarang. Sebuah masyarakat, sebuah bangsa, ternyata tidak cukup hanya dipahami seperti kita memahami sebuah organisme biologis.

Teoro Struktural Fungsional

Teori Fungsional - Struktural
November 8, 2007 oleh adjhee

Pendahuluan

Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.

Oleh karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 3 mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.


Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural

Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional - structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “[4]. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.

Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :

postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.


Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial

Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :

pencarian pemuasan psikis
kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “

Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.

Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.


Penutup

Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa secara singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit ataupun melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.

Sekiranya hanya ini yang dapat kami selesaikan dalam penyusunan makalah ini, terasa bagi kami kesulitan dalam mencari refrensi tentang pengertian yang mendalam dari teori ini. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan pembelajaran yang lebih mendalam bagi kawan-kawan yang haus akan suatu ilmu. Kami memohon maaf bila banyak kekurangan dan mungkin ada yang bingung terhadap bahsa yang dipergunakan dalam penulisan. Oleh karena itu input kalian sangat berarti bagi kami penyusun makalah.


Referensi


Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003

Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995