Kamis, 04 Juni 2009

Teori Fungsinalisme

Teori Fungsionalisme

Bayangkan tubuh manusia yang ginjalnya sakit, atau kakinya terkilir, giginya berlubang, atau bibirnya terkena sariawan. Tubuhnya menjadi lemas dan tak mampu lagi beraktivitas secara normal. Fungsionalisme melihat masyarakat dan sistem sosial yang ada di dalamnya ibarat tubuh, yang jika satu bagian sakit atau tidak berfungsi, maka anggota tubuh lain tak dapat menjalankan tugas dan perannya secara maksimal.

Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog Perancis yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh Auguste Comte, merupakan sosiolog yang sangat mendambakan pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena sosial. Teorinya berawal dari pemahaman bahwa kelompok manusia (masyarakat) memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut.

Bertolak pemahaman yang demikian ia menerangkan bahwa sistem sosial menjadi seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai tersebut mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya kesetimbangan sosial; melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Contohnya yang terkenal adalah kasus bunuh diri. Menurutnya, orang bunuh diri karena hilangnya rasa memiliki dan dimiliki orang tersebut dalam masyarakat.

Secara ekstrim, fungsionalis berfikir bahwa masyarakat pada awalnya disusun oleh individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya secara bersama, namun pada akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang.

Sosiolog Amerika Serikat, Talcott Parsons (1902-1979), adalah juga seorang seorang fungsionalis. Teorinya didasarkan pada mekanisme sosial dalam masyarakat dan prinsip-prinsip organisasi di dalamnya. Pengembangan ini disebut juga struktural-fungsionalisme. Dalam pandangan ini, masyarakat tersusun atas bagian-bagian seperti misalnya rumah sakit, sekolah, pertanian, dan seterusnya yang terbagi berdasarkan fungsinya.

Secara ringkas, fungsionalis melihat masyarakat ibarat sebuah organisme, makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Ia sehat jika bagian-bagian dari dirinya (kelompok fungsional, individu) memiliki kebersamaan satu sama lain. Jika ada bagiannya yang tidak lagi menyatu secara kolektif, maka kesehatan dari masyarakat tersebut terancam, atau sakit. Dalam hal ini hukuman/sanksi sosial terhadap penjahat dapat dipandang sebagai cara untuk mencegah sakitnya sistem sosial.

Salah seorang fungsionalis Amerika yang lain, Robert K. Merton (1911-2003) menggunakan terminologi fungsionalisme taraf menengah. Secara teoretis, Merton memiliki perspektif yang sama dengan sosiolog fungsionalisme pendahulunya, namun yang menjadi sorotan utamanya adalah pengembangan teori sosial taraf menengah. Dalam pengertian Merton, teori taraf menengah adalah teori yang terletak di antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya untuk mengembangkan suatu teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku sosial, organisasi sosial, dan perubahan sosial. Hal ini adalah responnya terhadap semangat Parsons yang hingga akhir hidupnya ingin menyelesaikan teori tunggal tentang sistem sosial (grand unified social theory).

Menurut Merton, teoretisi sosial dalam pengamatannya harus membedakan antara motif dan fungsi sosial. Motif sosial itu lebih bersifat pribadi daripada fungsi sosial itu sendiri. Misalnya, dalam sebuah masyarakat terdapat doktrin yang mengandung fungsi sosial untuk mempertahankan komunitas tersebut, yaitu mempunyai anak. Jika seseorang melahirkan anak, kebahagiaan orang tersebut dan keluarganya lebih kepada motif pribadi, cinta kasih, penyesuaian diri dengan kondisi sosial, dan sebagainya lebih daripada fungsi sosialnya yaitu untuk mempertahankan komunitas.

Dalam hal ini, perlu dibedakan dua fungsi sosial, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang diketahui dan dimafhumi oleh individu-individu dalam sistem sosial tersebut, sementara fungsi laten adalah fungsi yang tak diketahui. Hal ini menjelaskan tentang terjadinya pola-pola konsekuensi disfungsional dari tindakan individu dalam masyarakat.

Disfungsional maksudnya konsekuensi yang justru memperkecil kemampuan bertahannya masyarakat tersebut.

Contoh yang menarik untuk ini adalah berkembangnya sekte agama atau suku tertentu; jelas sekali fungsi manifes yang terkandung dari ajaran atau doktrin yang ada dalam agama atau suku tersebut adalah untuk membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok tersebut. Namun di sana terdapat fungsi laten, yaitu fanatisme kelompok yang besar, yang bisa memunculkan disfungsi konsekuensi, perang atau teror antar kelompok agama atau suku yang justru sangat berbeda maksudnya dengan fungsi manifesnya, yaitu membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok yang lebih besar.

Sumber: Meretas Jalan Sosiologi - Dept. Comp. Soc. Bandung Fe Institute