Kamis, 04 Juni 2009

Teori Klasik Tentang Budaya

TEORI KLASIK BUDAYA
Karya Suwardi endraswara- UGM Press
A. TEORI-TEORI KLASIK PENELITIAN KEBUDAYAANA.
EVOLUSIOIVISME
1.Dasar Pemikiran
Pemikiran dasar evolusionisme adalah bahwa ada suatu kepastian dalam tata tertib perkembangan, yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang agak kecil atau agak besar (Baal, 1988:114). Misalkan saja dalam bidang perkawinan, Edward Watermarck menyebutkan bahwa ada hubungan analogis antara hewan dan manusia. ‘ Khususnya pada jenis burung, telah ada pemeliharaan keturunan, bahkan burung jantan juga ikut memelihara anak-anaknya.
Hal ini mengindikasikan bahwa masa silam perkawinan manusia pun tidak campur aduk, melainkan telah ada proses yang beradab. Perkawinan masa lalu telah berlangsung lama, telah memikirkan hubungan seksual, dan karenanya memerlukan perawatan. Perkawinan besar kemungkinnya merupakan warisan. Homo sapiens, aslinya juga pemakan buah, seperti juga manusia kera tadinya hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Jika mereka berpencar lalu terjadi perkawinan campur aduk, sebenarnya merupakan mitos manusia purba saja. Seperti halnya penemuan masyarakat Andaman, bahwa suatu pasangan bercerai untuk mencari partner baru, setelah anak mereka disapih. Ternyata penelitian kemudian menunjukkan, orang Andaman suami-isteri yang sangat setia. Tentu saja proses semacam ini bergerak sedikit dengan sedikit seiiring dengan perkembangan budaya mereka.
Adanya anggapan masa purba telah terjadi promiskuitas (campur aduk) tidak selamanya benar. Meskipun ada tanda-tanda yang tampak ke arah itu, seperti pria lebih banyak cemburu dan terjadi poliandri, hal ini mungkin hanya terjadi beberapa kali saja. Begitu pula tentang hubungan kelamin sebelum perkawinan dan konsep jus primae noctis (hak malam pertama), yang telah dipratekkan pada masa feodal melalui kekuasaan dan perkosaan, masih perlu dikaji lebih lanjut. Karena, dengan adanya etika perkawinan yang mengikat mereka tentu lambat laun proses kultural semacam itu telah berubah. Pandangan tentang ketakutan hubungan seks dalam keluarga antara ayah dan anak gadisnya dan larangan perkawinan sesama saudara pria dan wanita (incest), juga penting dalam teori evolusionisme. Masalah ini, jika dilakukan jelas akan melanggar hukum alam dan kodrat manusia. Budaya semacam ini jelas tidak dibenarkan karena akan ada akibat-akibat tertentu yang kurang menyenangkan.
Penelitian evolusi di Indonesia, dapat mengambil obyek tentang perkawinan pada salah satu marga, hubungan kekerabatan, religi, dan sebagainya. Misalkan saja, peneliti dapat menitikberatkan peranan mas kawin yang awalnya berfungsi sebagai alat untuk perdamain setelah ada kawin lari. Peneliti juga dapat mengkaji masalah religiusitas sejak ada pengaruh Hindu Jawa, ada abangan, santri, priyayi, aliran kepercayaan, dan sebagainya. Penelitian terakhir ini dapat memanfaatkan teori evolusi E. B. Taylor tentang religi. Menurutnya, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia telah mati, terputuslah hubungan jiwa dan jasmani. Jiwa yang terlepas dari’ jasmani itu dapat berbuat sekehandaknya. Alam semesta akan penuh dengan jiwa bebas tersebut, yang tidak lagi disebut soul (jiwa) melainkan spirit (roh halus). Jika manusia menghormati roh tersebut dengan jalan persembahan disebut paham animisme. Terjadinya kepercayaan semacam itu karena adanya konsep survivals. Artinya, sisa-sisa kebudayaan sebelumnya yang masih dilestarikan pada kebudayaan baru. Survivals ini mungkin sekali hanya berupa motif-motif spiritual, dongeng, permainan, benda keramat dan sebagainya.
Tentu saja, studi evolusi budaya manusia tidak terbatas pada masa lalu saja, melainkan dapat diterapkan pada masa kini. Narnun, studi evolusi budaya masa kini mustinya telah berubah menjadi penelitian perubahan budaya yang cabangnya telah amat beragam. Oleh karena, perubahan budaya dapat melalui berbagai segi dan cara yang unik. Maka dari itu, evolusi semakin kurang diminati oleh pengkaji budaya masa kini. Selanjutnya, ketika evolusi mengalami kemunduran, muncul difusi budaya. Yakni, sebuah kajian tentang proses pengadopsian atau peminjaman budaya dari satu wilayah ke wilayah lain. Perkembangan selanjutnya, evolusionisme telah bergeser, terutama dengan kehadiran V. Gordon Childe. Dalam bukunya Man Makes Himself (1957) ia berpendapat bahwa rekaman arkeologis telah menunjukkan pola perubahan evolutif dan progresif. Konsep progresif dalam evolusi ini juga didukung oleh Simpson (1959:107-108) bahwa kehidupan budaya akan ditentukan oleh perkembangan waktu. Perkembangan waktu akan memungkinkan tumbuhnya gagasan baru yang marnpu mengubah kebudayaan ke depan. Sifat progresif juga akan dipengaruhi bagaimana budaya tertentu mampu beradaptasi dengan lingkungan. Sejalan dengan ini pula, White berpendapat bahwa budaya perlu dipahami dari aspek tertentu. Tanda-tanda adalah hal atau kejadian yang memiliki malrna inheren dengan bentuk fisik tanda itu. Di pihak lain, simbol adalah benda atau kejadian yang artinya dilekatkan secara arbriter oleh orang yang menggunakan secara kolektif. Pandangan ini, kemungkinan besar yang menjadi embrio terhadap simbol-simbol budaya.
Penelitian evolusi budaya, memang tidak bisa mengabaikan teori Charles Darwin. Menurutnya, tindak budaya manusia bukanlah berjalan secara acak, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia memiliki bahasa dan pikiran yang mampu mengubah budayanya dari waktu ke waktu. Karena itu, penelitian di arahkan pada perkembangan pola pikir, simbol ayng digunakan, aturan yang dipakai dari waktu ke waktu. Evolusi sekurang-kurangnya akan terkait dengan proses biologis, sosial, dan budaya manusia. Ketiganya saling terkait dan sulit dipisah-pisahkan. Evolusi biologis yang dipelopori Darwin, telahmenarik perhatian peneliti kebudayaan berkisar pada studi tentang asal-usul (tahapan) hidup manusia. Studi ini akan menyangkut berbagai hal seperti institusi keluarga, perkawinan, bangsa, dan negara. Kecenderungan awal penelitian semacam ini menitikberatkan pada studi evolusioner hidup manusia. Penelitian semacam ini awalnya menjadi wilayah garap studi paleantropologi atau antropologi ragawi.
KerjasamA yang manis studi budaya semacam. bisa dengan bidang arkeologi. Dalam pandangan Montago (1960:17) penelitian kebudayaan secara evolusionisme tetap tidak hisa lepas dari manusia. Manusia adalah pencipta budaya. Budaya sebagai milik individu maupun kelompok akan bermakna seiring dengan kebutuhan manusia. Sejak budaya manusia purba sampai sekarang, kebudayaan akan muncul dan bermakna apabila digunakan oleh pemiliknya. Dalam penggunaan budaya itu selanjutnya terjadi perubahan budaya secara pelan-pelan.

2. Titik Berat Analisis
Realitanya, kritik tajam kehadiran evolusionisme memang sulit terelakkan. Evolusionisme, sering diperlakukan kurang patut oIeh peneliti budaya berikutnya. Padahal, tidak sedikit pula sumbangan evolusionisme terhadap penelitian budaya di era mana pun. Penelitian budaya dengan model evolusionis tetap memiliki nilai dan kekuatan tertentu. Nilai dan kekuatan tersebut tergantung tujuan apa peneliti budaya mengangkat sebuah fenomena. Jika peneliti memang ingin melihat sebuah perkembangan dan perubahan dari titik waktu, evolusionisme tetap memiliki peranan terhormat. Hal tersebut, didasarkan pada tiga asumsi dasar evolusionisme yang telah menjadi acuan penting bagi penelitian budaya adalah:
(1) fenomena budaya harus dikaji secara natural,
(2) premis tentang “kesatuan psikis umat manusia”, yakni bahwa perbedaan kultural antara dua kelompok tidak disebabkan oieh perbedaan psikobiologis melainkan perbedaan pengalaman sosial budaya,
(3) penggunaan metode komparatif sebagai ganti eksperimen dan laboratoris dalam ilmu ragawi (Kaplan dan Manners, 1999:58-58).
Penelitian budaya dengan kacamata evolusionisme akan menitikberatkan pada proses budaya itu sendiri. Dalam proses tersebut, sering terjadi pengulangan dan tranformasi budaya dari masa lalu ke masa sekarang. Dalam proses budaya semacam ini akan terjadi peniruan beberapa aspek budaya. Tentu saja, lalu timbul ada budaya asli dan budaya tiruan atau turunan. Misalkan saja tentang adat istiadat bercocok tanam yang menggunakan perhitungan berupa pranata mangsa. Selanjutnya, penelitian evolusi telah berkembang pada masalah sosial budaya manusia. Termasuk di dalamnya, terjadi penyelidikan evolusi religi, keluarga, negara, dan ’sebagainya.
Pangkal tolak penelitian kebudayaan secara evolutif, adalah teori Spencer tentang evolusi universal. Maksudnya, makhluk di dunia mengalami perubahan yang kurang lebih sama, meskipun sering ada evolusi yang unik pada budaya tertentu. Misalkan saja, masalah religi diasumsikan muncul karena ada rasa sadar dan takut akan maut. Bentuk religi tertua adalah menyembah roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa jiwa orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Bentuk religi tertua ini, menurut Spencer akan berevolusi ke arah penyembahan dewa-dewa. Dewa yang menjadi pusat penyembahan manusia dalam tingkat evolusi semacam ini mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya. Namun, evulosi universal itu juga tidak selalu benar karena setiap bangsa memiliki variasinya. Misalkan, ada yang memiliki keyakinan adanya kelahiran kembali lewat binatang. Begitu juga masalah hukum, yang awalnya dinamakan hukum keramat (gugon tuhon), kemudian ada yang melanggarnya. Pelanggaran disesuaikan dengan pemikiran zamannya, karena menurut Spencer ada konsep survival of the fittest, artinya aturan akan bertahan jika cocok dengan lingkungannya. Kebudayaan akan berjalan terns apabila mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian kajian evolusionisme budaya masih relevan untuk mengungkap berbagai aspek fenomena budaya. Fenomena budaya akan berhubungan dengan lingkungan yang membentuk simbol atau tanda-tanda kausal. Tanda dan simbol yang melukiskan kehidupan individu maupun kolektif akan menjadi perhatian para peneliti budaya. Aspek perkembangan dan perubahan fenomena budaya pun dari waktu ke waktu, akan diperhatikan sungguh-sungguh untuk memperoleh kejelasan. Lebih rinci lagi, .ada dua teori evolusi kebudayaan yang patut dipertimbangkan, yaitu:
(1) teori monogenesis. Teori ini dipelopori oleh Wilhelm Grimm. Teori ini mengasumsikan bahwa kebudayaan berasal dari satu induk. Semua mitos tentang matahari misalnya, dianggap berasal dari India;
(2) teori poligenesis, yang dipelopori Andre Lang. Teori ini berpandangan bahwa setiap kebudayaan di dunia mempunyai kemampuan berevolusi. Oleh sebab itu setiap folk memiliki kemmapuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama.
Jika pada beberapa negara ada motif mitos yang sama karena masing-masing negara memiliki kemampuan untuk menciptakan secara berdiri sendiri maupun sejajar. Termasuk paham ini adalah kajian budaya Freud, yang menganggap bahwa terjadi mitos yang sama pada beberapa negara, bukan karena difusi melainkan adanya kesadaran bersama yang terpendam. Kesadaran tersebut berupa, keinginan bersetubuh, keinginan kembali ke rahim, dan keinginan untuk dilahirkan kembali (Sudikan, 2001:18).
Dari dua teori evolusi budaya di atas, tampak bahwa peneliti budaya perlu memperhatikan proses pertumbuhan budaya itu sendiri. Pertumbuhan budaya yang berasal dari satu induk dan atau dari dasar keinginan bersama, sama-sama penting dikaji. Keduanya akan membentuk produk budaya baru. Froduk budaya tersebut menurut pandangan Rappaport (Keesing, 1999:150) akan terpengaruh lingkungan.
Ekologi budaya merupakan jaringan yang sangat kompleks yang meliputi kepercayaan budaya dan berbagai dampak peristiwa ekologis. Dalam kaitan ini, ritus merupakan suatu “termos panas” yang mengubah informasi kompleks. Kesucian, kebenaran, keyakinan, dan agama adalah suatu hal yang tak perlu dipertanyakan, jelas memiliki pengaruh dalam adaptasi.
B. DIFUSI KEBUDAYAAN
Difusi adalah persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan _ menularkan budaya tertentu. Apalagi kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, jelas akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, disitulah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi dan komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan culture contact, berupa asimilasi budaya juga akan semakin memperluas jaringan budaya. Kontak budaya asing (luar) yang masuk akan bertarung dengan budaya asli, sehingga pada perkembangan selanjutnya sulit dikenali jati diri keaslianttya.
Karena itu, penelitian difusi akan berusaha mengungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Maka, kontribusi telaah difusi, bukan pada aspek historis budaya melainkan pada geografi budaya. Paham fundamental ahli telaah. difusi tak jauh berbeda dengan studi komparatif kebudayaan. Dalam hal ini, difusionis Graebner (Malinowski, 1944:35) menyatakan bahwa semua regularitas proses budaya merupakan hukum dari kehidupan mental dan studi tentang ini dapat dilakukan melalui studi psikologi budaya. Studi difusi budaya lebih ke arah survival (kelestarian) kebudayaan dari teinpat satu ke tempat lain. Survival budaya berarti ketahanan, bukan persoalan fungsi semata. Survival adalah daya eksis budaya. Survival tidak lain merupakan daya tahan budaya tersebut setelah mendapatkan pengaruh budaya lain sehingga menimbulkan makna baru. Makna baru tersebut, tak lain merupakan fungsi baru budaya tersebut.
Menurut paham analitik difusi, kebudayaan pada hakikatnya dapat menyebar, meluas, baik secara kelompok maupun satu per satu. Kebudayaan dapat melebar lebih jauh dan dekat. Prinsip utama difusi adalah kebudayaan masa lalu dapat direkonstruksi ulang pada budaya sekarang dan mendatang. Jika kebudayaan tersebut terjadi proses dan perubahan, sebenarnya esensinya tetap ada pengaruh historis. Mulamula kebudayaan yang berkembang pada sebuah wilayah, sebenarnya berasal dari “pusat kebudayaan”. Hal ini dapat dipastikan bahwa unsur yang menyebar tersebut pastilah unsur yang paling tua. Maka, peneliti difusi akan mampu menemukan mana budaya tua dan muda. Kedua budaya tersebut saling pengaruh-mempengaruhi sehingga ada makna dan fungsi baru. Analisis difusi kebudayaan memang memerlukan ketekunan tersendiri. Oleh karena, paham ini memandang bahwa kebudayaan mula-mula satu induk, lalu ada penyebaran. Difusi mungkin lebih relevan untuk melihat kebudayaan sebagai seni dan folklor. Dengan cara ini, difusi merupakan metode analisis yang mampu merunut aspek historis sehingga membentuk mata rantai panjang fenomena budaya. Paham difusi selalu berasumsi bahwa budaya satu dengan yang lain saling terkait dan ada pengaruh genetika budaya. Tugas peneliti budaya dengan metode ini adalah mencari kembali sejarah gerak perpindahan, proses budaya yang saling mempengaruhi, sejak awal sampai masa kini. Tentu, saja hal ini diperlukan pembatasan sampai, tingkat tertentu, jika tidak jelas akan memakan waktu yang cukup panjang.
Tugas utama peneliti difusi budaya adalah menemukan kulturkreis, yaitu sekumpulan budaya yang memiliki ciri sama. Ciri ini menjadi bekal untuk mengklasifikasikan sebuah fenomena budaya: Misalkan saja, kita bisa merunut perkembangan kepercayaan monotheisme di Jawa sampai berkembang menjadi pantheisme. Kita juga dapat melihat perkembangan berbagai aliran kepercayaan dan aneka ajarannya. Aliran kepercayaan tersebut dikaitkan pula dengan pelaku budaya spiritual dan sejumlah aktivitas budaya kaum abangan. Jika hal ini dilakukan, maka akan diperoleh bagaimana proses “menjadi”, dari budaya tertentu sampai budaya tertentu pula. Mungkin sekali, dari aktivitas aliran kepercayaan dan sejumlali kaum abangan akan ditemukan pengaruh Hindu Jawa dan Islam yang telah melebur.
Pengaruh tersebut akan menarik disimak ketika muncui berbagai aliran kepercayaan yang memiliki “kitab” yang berbeda:,padahal hakikatnya sama yaitu pembinaan budi pekerti luhur ke arah sangkan paraning dumadi, memayu hayuning bawana, dan manunggaling kawula-Gusti. Jika data budaya berupa sistem kekerabatan seorang individu, peneliti dapat mengumpulkan bahan dengan wawancara kepada informan. Data tersebut bisa berupa daftar asal-usul (genealogi).
Dari data ini, peneliti dapat mengungkap terjadinya persebaran kekerabatan di satu tempat ke tempat lain. Kemaan dan perbedaan aspek-asgek tertentu akan menjadi titik poin yang harus diperhatikan oleh para difusionis. Proses terjadinya difusi kebudayaan memang membutuhkan waktu panjang. Dengan adanya imigrasi bangsa akan terjadi proses difusi budaya. Terjadinya penjajahan bangsa pada masa kolonial, juga mempengaruhi terjadinya difusi budaya yang besar-besaran. Hal ini dapat dipahami, sehingga banyak rakyat Suriname yang fasih berbahasa Jawa Ngoko, dimungkinkan awalnya juga berasal dari nenek moyang Jawa. Karena itu bukan mustahil kalau di Suriname pun banyak penganut kejawen. Begitu pula dengan adanya program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi - juga telah menumbuhkan difusi budaya Jawa di daerah tujuan. Adanya perkawinan antar suku dan antar bangsa, telah menyebabkan difusi kebudayaan sedikit demi sedikit. Apalagi, terjadinya kawin campur antara Jawa-Cina, Jawa-Amerika, Jawa-Australia dan sebagainya cepat atau lambat akan menciptakan budaya baru yang bersumber dari “pusat budaya” sebelumnya.
Pembauran budaya semacam ini, tentu menjajdi menarik dikaji, sehingga akan terlihat seberapa pengaruh budaya ash dan seberapa pula adanya perubahan. Termasuk di dalamnya, ketika bangsa ini telah sekat-sekat budayanya sehingga muncul konsep multikulturalisme, tentu difusi budaya menjadi sangat penting. Yang penting dalam difusi budaya perlu diperhatikan aneka perubahan sebagai akibat terjadinya kontak dan belajar budaya. Mungkin sekali setelah ada penyebaran budaya, akan terjadi internalisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, invensi, dan inovasi budaya. Istilah-istilah ini malrnanya sebagai berikut:
(1) internalisasi adalah proses penanaman budaya yang menyangkut kepribadian, seperti perasaan, hasrat, nafsu, dan sebagainya.
(2) enkulturasi, berarti pembudayaan atau lebih tepatnya pemberdayaan yang ‘ke arah positif, misalkan membudayakan tradisi sela matan, gotong royong, sumbangan, dan sebagainya.
(3) akultu-rasi, adalah kontak budaya satu dengan yang lain sehingga terjadi penyatuan budaya.
(4) asimilasi, adalah campuran kental dari dua budaya atau lebih, misalkan saja terjadinya sinkretisme antara Hindu-Jawa menjadi kautn~abangan.
(5) iravensi adalah temuan-temuan baru budaya, sehingga menghasilkan inovasi (pembaharuan) yang meyakinkan.
(6) inovasi adalah langkah strategis untuk memperbaharui budaya tertentu agar lebih fungsional bagi pendukungnya. Inovasi juga sering disebut invention of tradition.
Persoalan penting yang perlu mendapat perhatian bagi peneliti difusi budaya antara lain menyangkut masalah:
(a) budaya mana yang mudah dan sukar diterima,
(b) budaya mana yang telah diganti, asli, dan campuran,
(c) keadaan komunitas budaya penerima dan pemberi,
(d) proses terjadinya difusi bagaimana, dan
(e) sarana pendukung serta penghambat terjadinya difusi.
Dari perpsoalan-persoalan tersebut, peneliti difusi mencoba mengklasifikasikan dan mencari sebab-sebab terjadinya persebaran. Percampuran budaya asli dan pendatang akan menumbuhkan perhatian para difusionis ke arah sinkretis. Pada saat ini peneliti akan mencurahkan perhatiannya pada sejauh mana fenomena budaya telah berkembang menjadi kebudayaan lain.
C. FUNGSIONALISME KEBUDAYAAN
1. Aksioma dan Model
Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu. Antara lain, seperti fungsi religi dapat mempersatukan masyarakat. Fungsionalisme akan terkait dengan sifat dasar budaya manusia. Sifatsifat tersebut merupakan realitas budaya yang sulit diabaikan. Kehidupan budaya tidak jauh berbeda dengan organisme hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia membutuhkan organisasi yang akan menciptakan budaya tertentu. Organisasi budaya tersebut sering dinamakan institusi.
Konsep ini mengimplikasikan serangkaian nilai tradisional sehingga umat manusia menjadi bersatu dalam komunitas budaya. Karena itu, penelitian kebudayaan hendaknya dapat menunjuk kepada realitas lain yang sejalan dengan hukum secara umum. Kebudayaan tak lain merupakan bagian integral yang terdiri atas institusi yang terkoordinir rapi. Kebudayaan terorganisir ke arah serangkaian prinsip komunitas, di dalamnya ada kerjasama, ada spesialisasi aktivitas, dan aspek-aspek tersebut tetap sama pentingnya.
Budaya sebagai subyek penelitian akan terkait dengan manusia. Berarti, studi budaya akan mengangkat permasalahan sifat dasar manusia, sikap, dan perilaku mereka dalam kehidupan. Penelitian kebudayaan yang paling esensial akan menerapkan metode observasi di lapangnan sehingga diperoleh makna budaya sebagai proses dan produk manusia secara komprehensif. Aksioma dasar fungionalisme budaya adalah:
(a) budaya merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan lingkungannya,
(b) budaya merupakan sebuah sistem dari obyek, aktivitas, dan sikap yang bertujuan untuk mencapai sasaran tertentu,
(c) budaya memrupakan bagian integral yang setiap unsur saling tergantung,
(d) aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke dalam institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan, dan sebagainya,
(e) dari sudut pandang dinamika budaya, dapat dilihat pada masing-masing institusi.
Model analisis fungsiorialisme yang dipelopori oleh Malinowski, telah menawarkan pilar analisis tersendiri. Fungsionalisme budaya menghendaki agar peneliti mampu mengeksplorasi ciri sistemik budaya tertentu. Artinya, peneliti harus mengetahui kaitan antara institusi dengan struktur masyarakat sehingga membentuk sebuah kesatuan yang bulat. Klaim yang menarik kaum fungsionalis adalah sebuah metode yang mengeksplorasi saling ketergantungan di antara institusi satu dengan yang lain. Fungsionalisme juga merupakan salah satu metode analisis yang menitikberatkan proses budaya. Budaya adalah proses yang berjalan, bertahap, dan mengikuti irama.
Model analisis fungsional memungkinkan secara pragmatik tentang suatu simbol dan untuk membuktikan bahwa dalam realitas budaya tindakan verbal maupun tindakan yang lain baru menjadi jelas setelah melalui efek yang dihasilkannya. Titik terpenting dari fungsionalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tak jauh berbeda dengan organisme yang bagian-bagiannya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme tersebut. Asumsi fungsionalisme adalah semua sistem budaya memiliki syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya.Robert Merton (Kaplan dan Manners, 1999:79) mengetengahkan postulat tentang fungsionalis bahwa:
(1) postulat keutuhan fungionalis masyarakat, yaitu segala sesuatu berhubungan secara fungsional segala sesuatu yang lain,
(2) postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan suatu fungsi, dan tidak ada satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang sama itu.
Dalam kaitan ini, Merton memberikan rumusan tentang perbedaan fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak unsur budaya. Fungsi manifes ialah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut.” Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh warga masyarakat.
Baik fungsi manifes maupun fungsi laten fenomena budaya memiliki nilai-nilai positif. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa mengenal selamatan kenduri tentang bersih dusun. Selamatan tersebut, sering kurang disadari memiliki fungsi sosial dan gotong royong yang tampak di antara pendukungnya.
Dari sini akan tumbuh kesadaran kelompok. Namun, sebenarnya kenduri juga memiliki fungsi manifes sebagai laku spiritual yang amat dalam. Kenduri sebagai langkah negosiasi dengan kekuatan super inderawi agar mau membantu hidup manusia. 2. Aspek KajianYang menarik lagi dari analisis fungsional Malinowski adalah kemampuan melukiskan masyarakat tertentu sampai ke hal-hal kecil. Aspek-aspek kehidupan masyarakat dapat terungkap sehingga fungsi dan maknanya semakin jelas. Hal ini dapat dilihat ketika dia menampilkan kajian fungsional masyarakat Trobriand antara lain tentang:
(1) sistem kula (barter) dengan lingkungan sekitar, ciri fisik kepulauan, pola pemukiman komunitas, barang yang diperdagangkan,
(2) sistem kekerabatan kaitannya dengan kula,
(3) sistem pimpinan desa,
(4) teknik pembuatan perahu bercadik,
(5) upacara keagamaan sebelum dan sesudah kula,
(6) cara memperebutkan gengsi dan kedudukan, dan sebagainya.
Menurut Malinowski, ada beberapa syarat seorang peneliti yang ingin melukiskan etnografi budaya tertentu secara fungsional. Syarat tersebut, antara lain:
(1) harus menguasai bahasa lokal setempat, agar diperoleh pengertian tajam dan mendalam tentang budaya unik di wilayah tersebut,
(2) mengumpulkan dan mencatat unsur-unsur budaya yang terkait, seperti keagamaan, kesenian, sosial, ekonomi, dan sebagainya,
(3) melakukan observasi mendalam secara real tentang fenomena budaya.
Ada tiga abstraksi fungsi sosial adat tatacara dan pranata sosial, yaitu:
(1) abstraksi pertama berkaitan dengan adat, tingkah laku, dan pranata sosial yang lain,
(2) abstraksi kedua, terkait dengan yang dikonsepsikan masyarakat yang bersangkutan,
(3) abstraksi ketiga, terkait dengan kebutuhan mutlak berlangsungnya hidup secara terintegrasi.
Ketiga abstraksi ini perlu dilukiskan secara detail dalam laporan penelitian, sehingga jelas makna dan fungsi fenomena tersebut. Abstraksi tersebut juga didasarkan pada pendapat bahwa fenomena budaya sekecil apa pun pasti ada makna dan fungsinya bagi pendu-kung budaya tersebut.
Dalam kaitannya dengan analisis fungsional tentang budaya Malinowski juga cukup tajam memberikan rambu-rambu sebagai berikut:
Pertama, di Trobriand ada dongeng suci yang disebut liliu. Dongeng ini bukan dongeng biasa, melainkan tergolong kategori khusus, bahkan dianggap sebagai pedoman upacara suci. Ini berarti bahwa dongeng memiliki fungsi spiritual yang tinggi. Fungsi dongeng suci menjadi wahana religius pemilik dengan Sang Khalik.
Kedua, masalah tentang magic juga menarik perhatian dia. Menurutnya, magis memiliki fungsi mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tidak dipahami, dia seolah-olah mampu menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magis dalam budaya Trobriand. Hal ini disetujui pula oleh Radcliffe-Brown yang telah meneliti fungsi keagamaan bagi kerekatan sosial.
Ketiga, aktivitas budaya sebenarnya dimaksudkan untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Misalkan, kita belajar seni tembang (macapat), gending, ketoprak dan sebagainya sebagai upaya memenuhi naluri keindahan. Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa berbagai aktivitas budaya muncul sebagai pemenuhan kombinasi human needs.
Dari rambu-rambu tersebut, kajian fungsional dapat diarahkan ke situ. Urutan kajian tidak harus seperti itu, tergantung unsur mana yang akan diketengahkan terlebih dahulu. Prioritas peneliti kiranya sangat menentukan wujud laporan hasil penelitian. Untuk itu, peneliti fungsionalisme, menurut Malinowski (Kuper, 1996:15-16) perlu memperhatikan tiga kelompok besar data yang perlu kecermatan. Tiga kelompok tersebut sebagai berikut:
Pertama, data kerangka institusi, adat, yang dipelajari dengan nienggunakan metode dokumentasi statistik dengan bukti konkret. Tujuannya adalah membangun seperangkat kerangka sinopsis yang menjadi sarana bagi seseorang yang untuk memasuki wawasan adat yang diasosiasikan dengan kegiatan tertentu. Data tersebut muncul dari pendapat-pendapat dan deskripsi yang disarikan dari warga masyarakat budaya yang diteliti, dan dari pengamatan kasus-kasus yang real. Konsep ini mengarah pada data empiris.
Kedua, data harus mengambil data yang berupa aktualitas tindak budaya, dengan cara mencatat cermat dalam buku etnografi khusus. Informasi data dari penduduk (secara langsung) juga sangat penting.
Ketiga, koleksi pernyataan etnografis, narasi karakteristik, berbagai kejadian khas, unsur-unsur folklor dan formula magik harus dimasukkan sebagai korpus inscriptionum, sebagai dokumen mengenai mentalitas budaya setempat.
Catatan penting pengambilan data fungsionalisme ada tigal hal juga, yaitu:
(1) aspek-aspek kebudayaan tidak dapat dipelajari dalam keadaan terisolasi, aspek itu harus dipahami dalam konteks penggunaannya,
(2) seseorang tidak boleh menyandarkan kepercayaan pada aturan-aturan, atau deskripsi informan untuk melihat realitas sosial; manusia tidak selalu berbuat sesuai dengan perkataannya;
(3) jika seseorang memahami apa yang sesungguhnya dilakukannya, dan menempatkan pada konteks yang sesungguhnya dilakukan, dan menempatkan pada konteks yang seharusnya, mau tak mau ia mengakui bahwa “apabila masyarakat yang tidak beradab” tidak kurang rasional dari kita sendiri, maka paling tidak ia berpikiran sehat.
Singkat kata, orang yang berpikiran sehat cenderung memanipulasi setiap kemungkinan demi keuntungan. Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa pandangan fungsionalisme lebih cenderung melihat “dunia” dari wawasan pemilik budaya. Karena itu, participant observer sangat diperlukan. Kebudayaan akan terintegrasi secara keseluruhan dalam konteks budaya pendukungnya. Berarti budaya memiliki malrna utilitarian. Budaya merupakan kesatuan mutualistik. Kebudayaan akan memenuhi kebutuhan seperti biologis, psikologis, sekunder dan lain-lain. Budaya akan membentuk totalitas karena kebudayaan merupakan satuan yang berproses atau bekerja.
Esksistensi budaya akan memenuhi tujuan tertentu, dan tentu saja akan bermakna tertentu pula bagi pendukungnya. Dengan kata lain, budaya akan memiliki tujuan dan karenanya harus berfungsi bersama-sama. Setiap pola kelakuan yang sudah menfadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar (sekunder) dari pemilik’budaya. Kebutuhan pokok meliputi, reproduksi, merasa enak badan, keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Sedangkan kebutuhan sekunder, misalkan organisasi politik, organisasi makanan, dan sejumlah kepentingan lain sebagai pengaruh kebutuhan dasar. (Ember dan Ember, 1996:59-60).
Kepentingan praktis dari fungsionalisme adalah untuk memahami bahwa institusi budaya dapat berkembang sangat tergantung pada institusi lain. Adapun keberatan fungsionalisme antara lain, kurang memberi penjelasan mengenai aneka ragam kebudayaan. Fungsionalisme lebih berpikir universalitas budaya, seperti semua orang butuh makan jika ingin bertahan hidup.- Jadi, fungsionalisme kurang mampu memenuhi pola-pola budaya lain yang sebenarnya dapat bertahan tanpa pertolongan yang lain.
Analisis budaya secara fungsional, juga tetap bersentralkan pada manusia. Oleh karena, proses kultural, jika dilihat dari aspek konkretnya akan melibatkan umat manusia. Manusia pada dasarnya akan mengubah lingkungan sosial budaya di mana mereka hidup. Manusia juga sering mengubah lingkungan fisiknya. Akibatnya, segala perilaku manusia hampir seluruhnya diwarnai oleh tindak budaya. Proses pernafasan, pencernaan, dan sejenisnya terjadi proses kultural yang luar biasa pula. Proses semacam ini, seringkali juga diwujudkan melalui sistem budaya kebatinan, klenik, dukun, dan meXafisik yang lain. Dengan demikian, akan terjadi interaksi konstan di antara anggota organisme budaya. Dari sini pula muncul kebiasaan, kepercayaan, adat, dan sejumlah tradisi lain. Karena kompleksitas budaya semacam ini, akan menimbulkan ragam budaya yang sulit diobservasi langsung, dihitung (intangible), dan diakses melalui satu aspek saja. Bayangkan, kalau kita dapat menggali gagasan, nilai, motif cerita, konsep dogmatis, dan sebagainya apakah hal ini telah mencerminkan obyektivitas budaya? Dengan kata lain, melalui observasi belum tentu semua akses budaya menjadi objektif dan jelas. Kita memerlukan perangkat penelitian lain yang lebih jitu.
Penelitian budaya secara fungsional menurut Malinowski (1944:87) hendaknya mampu analisis kebutuhan dasar dan kebutuhan sekunder manusia. Kedua kebutuhan tersebut berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dari kemusnahan. Di bawah ini merupakan tabel urutan kebutuhan manusia yang patut dipertimbangkan, yaitu:
Dari tabel tentang kebutuhan atau sifat dasar manusia tersebut, kajian berarti bahwa fungsionalisme budaya harus mampu menyentuh di antara aspek tersebut. Jika penelitian fungsionalisme budaya mampu mengungkap impulse, tindakan, dan kepuasan hidup manusia maka akan berhasil mengkaji budaya sebuah komunitas. Di samping itu, analisis fungsional budaya juga perlu memperhatikan kebutuhan derivasi (sekunder), yang antara lain meliputi keyakinan, religiusitas, etika, dan sebagainya.Kebutuhan dasar manusia, cepat atau pun lambat akan mempengaruhi respon budaya komunitasnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Dari tabel tersebut tampak bahwa kebutuhan penting manusia sering akan mempengaruhi aspek-aspek hidup yang lain. Pengaruh tersebut yang membuat budaya semakin berkembang. Pengaruh tersebut akan menyesuaikan dengan fungsi masing-masing bagi keberlangsungan komunitas. Jika pengaruh pada salah satu aspek tersebut semakin kuat, akan menimbulkan pula aspek-aspek hidup lain yang lebih kompelks. Maka, tugas fungsionalisme adalah melihat aspekaspek tersebut dan pengaruhnya pada fenomena budaya. Jika hal-hal tersebut dapat terungkap, maka penelitian budaya akan membantu juga pengembangan ilmu-ilmu humanis yang lain, seperti politik, psikologi, hukum, bahasa, dan sebagainya. Karenanya, bidang-bidang tersebut juga akan menjadi ladang strategis penelitian budaya. Misalkan saja, ketika E. B. Taylor mengkaji budaya primitif, E. Durkheim tentang pembagian kerja sosial dan analisis agama serta magis adalah contoh pembahasan fungsionai yang dapat membantu bidang-bidang lain.
Dari kajian demikian akan tampak adanya interdepensi unsurunsur budaya dalam pemenuhan fungsi bagi komunitas budaya. Hal ini berarti analisis fungsional akan berusaha melihat seberapa jauh fungsi masing-masing unsur budaya dalam menunjang keberlangsungan hidup manusia. Fungsi tersebut harus dikaitkan dengan konteks kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan yang lain.
D. FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Fungsionalisme struktural yang dipelopori Radcliffe-Brown, menolak adanya istilah fungsi yang tidak dikaitkan dengan struktur sosial. Dalam kaitan ini ada sumbangan institusi sebagai upaya pengekalan struktur sosial. Maka, kunci pokok analisis fungsionalisme struktural budaya adalah adanya asumsi dasar bahwa budaya bukan pemuas kebutuhan individu, melainkan kebutuhan sosial kelompok.
Tokoh utama paham ini adalah Radcliffe-Brown. la berpendapat bahwa analisis budaya hendaknya sampai pada makna dan fungsi dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar semua masyarakat yang disebut “coaptation”. “Coaptation” adalah penyesuaian mutualistik kepentingan para anggota masyarakat. Dalam konteks ini, Radcliffe Brown (Kaplan, 1999:78) berpendapat bahwa sistem budaya dapat dipandang memiliki “kebutuhan sosial”. Kebudayaan itu muncul karena ada tuntutan tertentu baik oleh lingkungan maupun pendukungnya. Tuntutan itu yang menyebabkan budaya semakin tumbuh dan berfungsi menurut strukturalnya. Pendek kata Radcliffe-Brown (Turner, 1979:40) berpandangan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat hubungan sosial yang khusus dan membentuk suatu keseluruhan yang padu seperti halnya struktur organik. Karena itu dalam analisis fungsi, menurut RadcliffeBrown (1979:41) harus menghubungkan antara institusi sosial dan kebutuhan masyarakat.
Istilah fungsi dalam struktur sosial adalah fenomena sosial yang dilihat dalam masyarakat manusia bukanlah semata-mata keadaan individu, tetapi dilihat hasil struktur sosial yang menyatukan mereka. Metodologi deskripsi yang digunakan dapat meliputi lima hal yaitu:
(1) agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
(2) tiap unsur dalam sistem sosial dan setiap gejala atau benda mempunyai efek solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut,
(3) sentimen itu ditimbulkan dalam pikirian individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya,
(4) adat dan upacara adalah wahana ekspresi sentimen secara kolektif dan berulang-ulang saat tertentu,
(5) ekspresi kolektif sentimen tertentu memelihara intensitas sentimen itu dalam jiwa masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam generasi berikutnya.
Dari pandangan- demikian, jelas sekali bahwa fungsi sosial sebuah fenomena budaya sejalan pula dengan pemikiran Malinowski. Maksudnya, kedua ahli tersebut berpendapat bahwa ada efek dan pengaruh timbal balik sistem budaya dengan sistem sosial. Budaya ibarat sebuah sistem organisme yang hidup. Sistem ini membentuk sebuah jaringan yang saling ada ketergantungan. Namun demikian, hal ini tidak bisa dipahami secara harafiah. Budaya tetap hidup dan tak pernah mati semasa penggunanya ada. Misalkan, penelitian ritual “totemisme” secara fungsional struktural, Radcliffe-Brown yang menyatakan bahwa totemisme merupakan langkah solidaritas sosial sebagai bukti bahwa ada keterkaitan antar unsur budaya. Ritual ini juga akan membawa ke kesadaran moral dan sosial. Bahkan, ritual semacam ini mampu mengakrabkan manusia dengan alam. Karena itu, analisis harus mampu menggambarkan ke arah ini sehingga dapat ditemukan hubungan yang jelas antara ritual, manusia, dan alam.
Bertolak dari pendapat tersebut penelitian fungsionalisme struktural akan melihat lebih jauh kepaduan fungsi budaya bagi pendukungnya. Dalam kaitan ini analisis diarahkan melalui kebutuhan timbal balik pendukung dan institusi. Dalam institusi biasanya ada aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung keberlangsungan institusi yang lain. Misalnya saja, dalam kalangan hidup orang Jawa terdapat larangan perkawinan misan, tumbak-tinumbak, dan saudara sepupu, lalu muncul aneka petungan yang menarik. Petungan perkawinan seringkali menumbuhkan aturan dan larangan tertentu untuk mengatur hidup mereka. Petungan yang lazimnya terangkum dalam primbon perkawinan, adalah upaya pemenuhan kebutuhan institusi lain agar tercapai keselamatan hidup. Jika kesepakatan tadi telah mendarah daging, biasanya dianggap sebagai gugon tuhon perkawinan.
Namun demikian, gugon tuhon itu sendiri sering menjadi pengatur perkawinan yang ditakuti dan atau sebaliknya malah dilanggar. Oleh karena tidak sedikic yang mencoba menertawakan bahwa larangan perkawinan tertentu dianggap sebagai pembodohan. Tentu pro kontra tentang hal tersebut, akan menjadi hal menarik bagi peneliti fungsional struktural. Paling tidak, peneliti akan mampu menghubungan di antara unsur-unsur pendukung budaya tersebut dan sekaligus mencari sebab-sebab mereka mendukung atau sebaliknya.
Dengan demikian, fungsional struktural adalah model penelitian yang banyak memperhatikan keterkaitan antar unsur budaya dalam memenuhi fungsinya. Unsur budaya tersebut memiliki makna dan fungsi khas tergantung hubungan struktural di antara unsur tersebut. Untuk mencari hubungan ini, dapat dilakukan melalui wawancara secara mendalam dan juga pengamatan berperanserta. Melalui dua langkah ini, keterkaitan antar unsur budaya akan semakin tampak. Peneliti tidak bisa meniadakan unsur budaya lain ketika memaknai budaya dalam fungsional struktural.
Memang, ada sedikit kesulitan untuk menentukan apakah sebuah unsur berfungsi bagi masyarakat pendukung budaya atau tidak. Apakah kebiasaan tertentu memiliki fungsi yang relevan bagi unsur lain, inilah yang harus dicermati cukup hati-hati. Itulah sebabnya kajian fungsional struktural perlu mencermati unsur-unsur budaya, yang mungkin sering merugikan unsur lain, sehingga kategori fungsi tersebut semakin jelas. Apakah fungsi hanya berlaku bagi “fungsi pendukung”, ataukah juga fungsi sebagai “kontrol”. Keduanya, kiranya perlu mendapat tekanan yang berbeda demi kelengkapan hasil penelitian.